AYAH, RAMA, AIR
Rama memukul dinding kaca toko
hingga pecah dengan gelas kaca berisi air minumnya. Berteriak lagi, meracau
entah pada siapa. Semua orang panik! Beberapa orang pegawai berusaha
menenangkan Rama, tapi nihil! Pak Mat yang sedari tadi memperhatikan apa yang
diperbuat Rama hanya bisa diam. Ponsel yang ada di tangannya adalah penghubung
kabar yang sangat buruk. Ada telfon dari rumah sakit, istrinya mengalami gagal
jantung dan harus segera dioperasi. Pihak rumah sakit hanya meminta
persetujuan, tapi pak Mat tak kunjung menjawab.
“Pak Mat! Pak Mat! Pak Mat!”
Semua pegawai bertambah panik. Rama
terus memecahkan semua yang ada di toko, termasuk etalase roti siap jual. Rama
mengamuk, pelanggan ketakutan lalu pergi dari dari toko begitu saja. Sekarang
di dalam toko roti hanya tinggal aku, para pegawai, Rama yang masih mengamuk,
dan pak Mat yang terduduk diam di kursi pelanggan.
“Sudah Rama! Hentikan!” Salah
seorang pegawai berusaha mengekang Rama dari belakang, terus menahannya.
“Biarkan saja dia.” Tukas pak Mat.
“Tapi Rama terus mengamuk dan
menghancurkan isi toko pak!”
“Sudah saya bilang biarkan saja!”
sekarang pak Mat yang membentak tiba-tiba.
Aku adalah salah satu pengamat di
antara semua pegawai yang ada di dalam toko roti ini. Jika semua orang yang ada
di luar tengah bertanya-tanya apa yang tengah terjadi, mungkin aku adalah orang
yang paing tepat untuk mereka dengarkan. Aku mendengar semua pembicaraan pak
Mat melalui ponselnya. Aku mendengar semu cerita yang disampaikan bang Faris,
dan aku mengerti betul apa yang diinginkan Rama, seorang anak laki-laki
penyandang autis.
Beberapa jam yang lalu.
Hanya dalam satu isyarat khusus, semua
pegawai toko roti langsung berdiri sopan menyambut tamu yang datang. Seorang
pria paruh baya dengan setelan rapi muncul. Ia memakai jas dan dasi hitam legam
yang kontras dengan kemeja biru yang ia gunakan. Sisi kanan dan kiri kepalanya mulai memutih. Dia
adalah pak Mat, pemilik toko roti ternama di kota ini. Tidak seperti kedatangan
ia yang biasa, kali ini pak Mat menggandeng seorang anak laki-laki kisaran umur
enam sampai tujuh tahun. Anak itu bertingkah aneh, dan baru saja menyiramkan
segelas softdrink tepat ke setelan
rapi pak Mat.
Semua pegawai seketika risih!
“Ayah, Rama, air.” Sambil
menarik-narik jas pak Mat, Anak kecil itu berujar terbata seolah-olah tidak
terjadi apa-apa.
“Iya, sebentar lagi ayah ambil airnya,
rama.” Pak Mat membungkuk dan mengusap kepala Rama, dan membiarkan setelannya
basah begitu saja.
Kejadian itu baru kali ini terjadi.
Setelah sedikit memberi sapaan sopan, semua pegawai kembali ke pekerjaan mereka
masing-masing. Ada yang membersihkan meja yang baru saja ditinggalkan pelanggan
dan mengantarkan pesanan, ada yang berkutat di mesin kasir, dan ada juga yang
berdiri di belakang etalase kaca roti yang siap jual. Aku berada pada posisi ke
tiga, melayani pembeli dengan hanya mengambilkan pesanan mereka lalu
membungkusnya, sisanya ada di bagian kasir.
“Hei! Kamu pegawai pegawai baru,
ya?” Tiba-tiba pak Mat sudah ada di depan etalase kaca roti siap jual.
“ Iya, Pak. Tapi saya freelance. Saya mahasiswa di kampus dekat
sini.”
“Oh, bagus. Teruskan!”
Itu adalah pertanyaan ketiga yang
diberikan pak Mat padaku dalam sebulan terakhir. Beredar kabar dari pegawai
yang lain, dua bulan yang lalu anak pertama pak Mat meninggal karena overdosis
pemakaian obat terlarang. Kemudian istrinya juga sakit parah, entahlah, itu
mungkin semacam penyakit yang tidak bisa dijelaskan saat orang tua kehilangan
anaknya. Penyakit dalam, mungkin teori filsuf terhebat bisa menjelaskannya,
tapi rumah sakit tetap menjadi tempat perawatan yang cukup lama. Hal-hal
seperti itulah yang mungkin membuat pembisnis sukses itu mulai depresi, bahkan
lupa sering lupa dengan hal yang selalu tanyakan di setiap minggu, kamu pegawai
baru, ya?
“Sabar aja Lam. Mungkin kunjungan
minggu depan pak Mat tidak lupa namamu lagi.” Seseorang di posisi yang sama di
belakang etalase membuyarkan lamunanku. Namanya Faris. Karena beda usia yang
tidak terlalu jauh, aku memanggilnya bang Faris saja.
“Aku juga berharap seperti itu.”
“Kamu tahu anak kecil itu siapa?” Bang
Faris menimpal cepat. Berbicara sambil bekerja, ia baru saja membuka etalase
dan mengambilkan sebuah roti cokelat untuk seorang pembeli.
“Tidak. Aku baru melihatnya hari
ini.”
“Ya, wajar. Sekali pun pegawai tetap
kami juga baru pertama kali melihatnya. Namanya rama, anak bungsu pak Mat. Rama
sangat jarang dibawa keluar, mungkin karena dia berkebutuhan khusus.”
“Berkebutuhan khusus?” Dahiku
mengerinyit seketika.
“Aku sendiri juga tidak tahu. Ini
adalah cobaan yang berat, pak Mat pasti merasa sangat terbebani dengan semua
permasalahan ini. Padahal bisnisnya tengah melonjak naik setinggi awan.
Kabarnya pak Mat mau buka cabang lagi di luar kota.”
Sembari melayani beberapa pesanan
pelanggan, aku juga sibuk memperhatikan setiap gerak-gerik Rama, entah mengapa
sejak pertama kali masuk ke toko ini ia berhasil mengambil separuh perhatianku.
Rama berpindah ke meja pelanggan, lalu menyiramkan softdrink miliknya ke alas meja tersebut, lalu menarik-nariknya
seraya berkata.
“Ayah, Rama, air.”
Tapi pak Mat tidak mengubrisnya, pak
Mat malah mendekat lagi ke etalase kaca roti siap jual sembari berbicara dengan
seseorang di sana dengan ponselnya. Kemungkinan besar yang sedang berbicara
dengan pak Mat adalah rekan bisnisnya, karena pak Mat berbicara sesekali
tentang investasi dan sesekali melirik beberapa roti siap jual yang ada dalam
etalase. Bang Faris benar, bisnis pak Mat sepertinya akan berkembang semakin
pesat. Aku juga mendengar beberap pembicaraan tentang pembukaan cabang baru,
lokasi, bentuk bangunan, dan keuntungan
kerjasama yang beliau lakukan. Akan tetapi, sesaat setelah pak Mat mengganti
siapa lawan bicaranya, tangan yang memegang ponsel itu tiba-tiba turun lunglai
dari telinga.
“Pak, ada apa?” Aku bertanya
spontan.
“Hei! Ini anak siapa?!” Pada saat
yang bersamaan pelanggan di meja paling ujung berteriak kesal. Taplak meja
tempat ia menikmati sepotong roti gurih cokelat tiba-tiba diram Rama dengan softdrink yang sama.
“Maaf, Bu. Makannya silahkan
diteruskan.” Seorang pegawai perempuan pengantar pesanan ke meja-meja segera
mengamankan keadaan. Lalu pegawai tersebut menuntun Rama kembali ke ayahnya.
Masih perkataan yang sama. Karena softdrink yang ada di tangan Rama sudah
habis, kali ini Rama tidak menyiram lagi, tapi menari-narik jas pak Mat lalu
berujar yang sama, pun dengan intonasi yang terbata-bata.
“Ayah, Rama, Air.”
Pak Mat memintaku untuk mengambilkan
segelas air putih, karena tidak ada gelas biasa di took, terpaksa aku
menggunakan cangkir lalu memberikannya pada Rama. Di luar dugaan, bukannya
meminum air tersebut, Rama malah berlari ke arah dinding kaca toko bagian
dalam, lalu melemparnya dengan cangkir tadi hingga pecah!
“Sudah Rama! Hentikan!” Salah
seorang pegawai berusaha mengekang Rama dari belakang, terus menahannya.
“Biarkan saja dia.” Tukas pak Mat.
“Tapi Rama terus mengamuk dan
menghancurkan isi toko pak!”
“Sudah saya bilang biarkan saja!”
sekarang pak Mat yang membentak tiba-tiba.
Aku adalah salah satu pengamat di
antara semua pegawai yang ada di dalam toko roti ini. Jika semua orang yang ada
di luar tengah bertanya-tanya apa yang tengah terjadi, mungkin aku adalah orang
yang paing tepat untuk mereka dengarkan. Aku mendengar semua pembicaraan pak
Mat melalui ponselnya. Aku mendengar semua cerita yang disampaikan bang Faris,
dan aku mengerti betul apa yang diinginkan Rama, seorang anak laki-laki
penyandang autis.
“Rama ingin bapak mendengarkannya,
itu saja.” Aku menoleh pada pak Mat.
“Tahu apa kamu tentang anak itu!?”
“Ya,
maksud saya, Rama ingin mengatakan sesuatu pada bapak. Saya seorang mahasiswa
psikologi anak tingkat akhir, setidaknya saya tahu kalau sikap Rama yang
seperti ini adalah respon aktif dari syaraf otaknya untuk menyampaikan
sesuatu.”
“Tahu
apa kamu tentang hidup saya?! Percuma bisnis ini membumbung tinggi, tapi
hidupku seperti ini. Anak pertamaku meninggal! Istriku masuk rumah sakit! Dia
sekarang sedang dioperasi…”
“Ngg…………………………………………………….!”
Seketika
ponsel pak Mat berdenging. Seperti suara mesin pendeteksi detak jantung yang
ada di ruang operasi rumah sakit. Ponsel itu masih terhubung!
“Istriku,
istriku juga sudah tidak ada.” Lanjut pak
Mat dengan intonasi yang berbeda. Maka dalam hitungan detik, keadaan dalam toko
roti itu menjadi senyap. Hening tanpa suara. Rama terdiam, berhenti mengamuk.
“Ayah,
Rama, Air.” Perkataan itu muncul lagi. Rama yang tadinya dikekang melepaskan
dirinya perlahan, berjalan menuju pak Mat, kemudian menarik-narik jas itu lagi.
“Ayah, Rama, Air.” Rama mengulanginya lagi.
Awalnya
aku juga tidak mengerti apa maksud dari tiga kata yang diulang terus menerus
itu, tapi pada saat Rama selalu mengikuti perkataan tersebut dengan
menarik-narik kain seperti jas dan taplak meja agar jatuh. Aku mulai sadar,
bahwa Rama ingin mengatakan sesuatu. Penyadang autis selalu punya cara yang
khas untuk menyampaikan pesan mereka. Benar, mereka tidak seperti kebanyakan
orang lain dari segi aktivitas fisik dan pemikiran, dari segi jiwa yang ada di
dalamnya? Semua orang sama! Semua orang memiliki takaran perasaan di dalam hati
yang sama!
Merasa
tidak ditanggapi, Rama yang gerak-geriknya terbata-terbata mengambil guci di
atas meja pelanggan, lalu berjalan cepat ke dinding kaca toko pada sisi yang
lain, lalu melemparkannya. Pecah!
“Rama!”
Seketika pak Mat berteriak keras.
“Bapak
tidak perlu memakinya seperti itu!” perkataan itu terlontar dari mulutku.
Tidak
hanya pak Mat, hampir semua pegawai took juga menoleh tajam kepadaku.
“Iya,
semakin bapak memarahi Rama, semakin buruk respon yang akan ia berikan. Aku
juga tidak terlalu mengerti apa maksud perkataannya, tapi bisa saja itu bentuk
usaha yang dia lakukan untuk menyampaikan rasa kepeduliannya. Mungkin tidak
sepenuhnya benar, tapi setiap tiga kata itu selalu di awali dengan kata ayah
yang berarti pesan itu ditujukan untuk bapak, lalu kata kedua adalah namanya
sendiri, dan yang terakhir adalah kata air yang mungkin Rama ucapkan karena
selalu melihat mata bapak yang berair, bahkan sembab,”
“Lalu
apa hubungannya?! Apa dia ingin mengatakan kepada saya jangan bersedih atau
bersabarlah seperti yang kebanyakan orang normal di luar sana katakana?!”
Aku
tersedak! Entah itu kesimpulan pak Mat secara sengaja atau terlontar begitu
saja. Kesimpulan seperti itulah yang kumaksudkan atas semua kelakuan Rama. Ia
menarik taplak meja bahkan memecahkan kaca untuk menarik perhatian pak mat. Kata-kata
yang terus diulangi, Ayah, Rama, Air itu
adalah pesan yang ingin dia sampaikan. Pesan?
“Iya!
Tentu saja itulah yang ingin dikatakan rama. Tapi setiap kali Rama mencoba
menarik perhatian bapak untuk menyampaikan pesannya, bapak sama sekali tidak
pernah mencoba untuk mengerti. Bapak hanya menganggap Rama hanya menginginkan
segelas air putih? Itu bukanlah seorang ayah!”
“Bodoh!
Tidak ada satu persen kemungkinan pun anak seperti itu akan mengerti hal yang
dimengerti anak normal. Dia cacat! Dan selamanya akan seperti itu!”
Seseorang
dari belakang dengan cepat menarik lenganku. Dia berbisik. “Sudahlah, Alam. Ini
sudah keterlaluan. Jangan lanjutkan perdebatanmu dengan pak Mat. Kita semua
tahu pak Mat tengah berada dalam keadaan tertekan. Depresi akut itu tidak baik
baginya. Sudahlah, diam dan menghindar saja.” Bang Faris tahu betul bagaimana
caranya menenangkan keadaan.
Aku
mengikuti langkah bang Faris untuk menghindar. Saat semua mata masih tertuju
pada perdebatan kami, sekilas aku tidak melihat Rama lagi di dalam toko. Aku
melirik penuh seisi ruangan. Nihil!
“Rama
tidak ada di dalam toko!” Aku berteriak menyeru ke semua orang.
Hati
tak pernah berdusta. Dari semua yang bergegas menelusuri isi toko untuk
menemukan Rama, pak Mat sendirilah yang paling panik dan paling merasa cemas.
Dia bergerak sepuluh kali lebih cepat dibanding yang lain. Menyelah ruang antar
etalse roti, menyingkap semua taplak meja dan membungkuk cepat di bawahnya,
bahkan berlarian ke dapur dan ruang pemanggangan sebelum yang lain sampai
kesana.
“Rama
di ada di luar!”
Seseorang
yang lain berteriak cepat. Maka pada saat yang bersamaan itu juga, semua pak
Mat yang baru keluar dari ruang dapur segera berlari menuju pintu keluar toko.
Bagai pemutaran film di bioskop yang setiap frame
adegan per detiknya diperlambat, pak Mat seakan-akan berusaha menjangkau Rama
dari kejauahan. Jika aku benar, dengan perdebatan tadi, aku yakin Rama masih
berusaha menarik perhatian pak Mat, bahkan meyakinkan bahwa ada yang ingin
disampaikannya kepada sang ayah. Rama membawa salah satu cangkir dari meja
pelanggan lalu membawanya keluar, tengah berusaha menyeberang jalan dengan lalu
lintas berbahaya. Rama menuju sebuah toko butik di seberang sana yang dinding
luarnya juga dari kaca. Tunggu! Rahma ingin memecahkan kaca toko itu!
“Brakkk…………….!”
Suara
kegaduhan di luar seketika diringi dengan klakson mobil yang bersahut-sahutan.
Rama ditabrak oleh sebuah sedan hitam yang tengah melaju cepat! Semua adegan
per detik dalam peristiwa ini benar-benar diperlambat! Semuanya memasang wajah
ketakutan! Kaget! Berteriak histeris dan membuat heboh ruang antara toko roti
dan kegaduhan di jalanan! Aku juga tidak percaya, tapi inilah yang terjadi! Saat
aku melirik lagi pada pak Mat, ternyata jangkauannya hanya sebatas gagang pintu
kaca toko Roti.
Comments
Post a Comment