“Masa-Masa Indah di Bangku Sekolah”
-Di Tempat
yang Sama-
Hari ini aku akan bertemu dengan
Alan di tempat yang sama seperti dulu. Tepatnya sejak lima tahun sejak
kelulusan, aku tidak pernah lagi bertemu dengannya. Sebenarnya aku dan Alan
adalah teman biasa yang ada pada lokal yang berbeda saat masih menjadi siswa di
salah satu sekolah menengah atas di ibu kota. Namun, karena suatu pengiringan
yang terangkai dengan sempurna itu, akhirnya pertemanan kami menjadi luar
biasa. Bahkan aku berani mengatakan, hanya akan ada satu atau dua orang yang
akan kau temui jika kau bersikeras mencarinya. Ya, karena saat itu aku tak
melihatnya sebagai orang yang istimewa, namun di lain sisi, ia menganggap aku
adalah orang yang teramat istimewa.
Waktu itu kami kami masih belum
mengenal satu sama lain.
Ruangan kelas Alan tepat berada di
sebelah kelasku. Hari itu pula, kami semua sudah berada di penghujung semester
akhir, dan bersiap untuk menempuh bangku kuliah. Banyak sekali
universitas-universitas ternama yang menawarkan diri untuk kami ikuti. Namun,
saat itu pilihanku tengah menggantung tinggi di langit-langit kelas. Aku
hanyalah seorang siswa biasa yang bersekolah dari daerah pedalaman. Sebenarnya
ini juga bukan kehendakku untuk terus melanjutkan pendidikan di ibu kota, tapi
karena mendapat beasiswa yang tergolong kategori tidak mampu, akhirnya ibu
memutuskan untuk membiarkanku pergi.
Ayah sudah tidak ada kabar. Ia
meninggalkan kami sejak aku masih berada di dalam kandungan. Ya, sebuah rahasia
yang akhirnya aku ketahui sebelum melangkahkan kaki ke sini. Rahasia yang
selalu membuat hatiku teriris sempurna di setiap bagiannya. Namun ketegaran ibu
selalu menjadi alasan terbaikku untuk terus maju. Tidak peduli dengan semua
ocehan dan sindiran yang teramat perih. Biar pun aku tak mengenal seperti apa
sosok seorang ayah, namun aku masih memiliki seorang ibu yang bagaikan malaikat
terus memaksakan diri untuk merawat dan menjangaku hingga aku bisa seperti ini.
Dan biarpun aku takkan pernah bisa membalas walau hanya setetes keringat, aku
akan tetap melangkah. Berusaha menyibak jauh masa depan yang tengah menanti.
Namun hari itu?
Aku membiarkan sebuah formulir
pendaftaran untuk kuliah di universitas tergeletak kosong. Bukan tidak berani
untuk menyentuh, tapi lebih sulit dari itu. Tatkala aku melihat seisi kelas,
semuanya sibuk dengan pilihan masing-masing, bahkan ada yang sudah saling
mencocokkan pilihan mereka di deretan bangku paling belakang. Sedangkan aku
masih berkutat dengan pilihan pada kertas kosong yang tak pasti. Sejak pindah
ke ibu kota, aku tidak lagi menjadi yang terbaik di kelas. Setiap nilai dan
prestasi yang kuperoleh hanya di batas rata-rata. Sama sekali tidak ada yang
istimewa. Hal itu pula yang membuatku semakin terdiam menatap kertas yang
satunya lagi. Di sana ada kolom pengisian untuk beasiswa penuh. Hanya ada dua
pilihan, pertama untuk beasiswa berprestasi, dan yang kedua untuk yang tidak
mampu. Harusnya aku bisa langsung memilih. Tapi semuanya benar-benar membuatku
sesak. Pagi ini ada kabar dari kampung bahwa ibuku sedang sakit keras. Ia tidak
bisa lagi membuat dan menjajakan kue-kue kering untuk biaya hidup sehari-hari.
Meski tidak diizinkan, aku sudah berencana untuk pulang saja. Mengajar
anak-anak kampung mengaji, bekerja sebagai penjaja barang, atau apa pun yang
bisa kupegang selain melanjutkan kuliah. Tapi pilihan itu pun juga akan
terlihat bodoh dan sama sekali tidak masuk akal. Bagaimana mungkin aku masih
bisa berada di negeri orang dengan tenang, sedangkan ibu masih berkalut hina di
negeri sendiri? Ya, kami berdua sudah diusir dan di asingkan keluar kampung.
Kakek dan nenek sudah tiada. Kerabat dekat pun juga tidak bisa lagi bertatap
muka saat harga diri sudah diinjak-injak tanpa rasa malu. Ibu sendirian di sana.
Mengontrak sebuah rumah kecil berkekurangan. Sekarang ia tengah sakit. Siapa
lagi yang mau peduli?
“Refal, kamu mau kemana?” bu Evi
yang sedari tadi memperhatikanku akhirnya menegur.
Aku keluar dari kelas begitu saja
tanpa berkata apa-apa. Namun saat pertanyaan itu keluar, aku hanya menoleh
singkat, lalu beralasan ada keperluan di luar sebentar. Meski tidak terlalu
baik, bu Evi selalu memberikan perhatian lebih padaku. Ia tahu semua tentangku.
Mungkin itu juga salah satu alasannya bersusah payah mendapatkan beasiswa
sekolah di sini untukku. Sebenarnya aku juga baru tahu, ternyata bu Evi juga
satu kampung halaman denganku.
“Hei! Apa kau sudah mengisi
formulirnya?” tiba-tiba seseorang bertanya tatkala aku baru keluar dari ruangan
kelas.
Aku menoleh padanya. “Belum, terlalu banyak
beban pikiran. Bagaimana denganmu?”
“Sudah, bahkan dengan semua
persyaratannya.” Jawabnya singkat.
Sejak saat itu aku mulai berkenalan
dengan Alan. Itu pun setelah aku malu-malu bertanya dan menjulurkan tangan
padanya. Sebelumnya aku juga sudah dapat banyak kabar, kalau ada anak jenius di
lokal sebelah. Mungkin saja dia orangnya. Hingga selang waktu berlalu cepat,
akhirnya kami hanya menghabiskan banyak waktu mengobrol di kantin sekolah. Aku
tidak terlalu mengubris masalah pengisian formulir, karena minggu depan masih
ada pendaftaran untuk golongan kedua. Mungkin saja aku akan menetapkan pilihan
itu nanti, atau mungkin juga tidak dan segera pulang melihat ibu.
“Jadi kau memang tidak akan ikut
gelombang pertama?” Alan bertanya padaku sambil menyeruput kuah terakhir dari semangkok bakso yang
dibelinya.
“Ya, harus bagaimana lagi. Aku harus
memikirkan semua ini sematang mungkin.” Jawabku mantap. Selama perbincangan,
aku hampir mengatakan semua yang ku alami padanya. Entahlah, aku baru saja
merasa memiliki tempat untuk berbagi. Kecuali yang satu itu. Ayah yang tidak
akan pernah kusebutkan dalam kamus kehidupanku.
“Kalau begitu kau harus menemukan
pilihannya sebelum minggu besok. Bagaimana dengan ini?” Alan meraih sebuah
amplop surat dari saku kemudian memberikannya padaku. “Kau mungkin butuh
beberapa pertolongan. Tapi kau tidak boleh bertanya barang agak satu kalimat
padaku. Silahkan pecahkan sendiri, dan kuharap aku bisa membantumu dengan cara
seperti ini.”
Ingin sekali aku bertanya amplop
surat itu untuk apa. Tapi Alan beranjak lebih dulu. Ia pergi begitu saja
setelah membayar dua mangkok bakso pada ibu kantin, dan tentu mangkok yang
satunya lagi itu punyaku.
Setibanya di kos, aku langsung
membuka amplop surat itu. Di sana tertera beberapa kalimat yang tertulis dengan
rapi. Perlahan aku membacanya dalam hati.
“Jika
taman bermain selalu menyenangkan, lalu mengapa masih ada orang yang bersedih
hati? Jika saja awan mendung yang mengantarkan hujan akan berakhir dengan
sebuah pelangi, lalu mengapa masih ada yang tidak mau menunggunya? Bahkan, jika
saja sebuah masa lalu harus dikubur hidup-hidup, lalu mengapa masih ada orang
yang membutuhkannya?”
Kedua sorotan mataku berakhir pada
tanda tanya yang ketiga. Aku sama sekali tidak mengerti dengan apa yang baru
saja kubaca. Bukan karena nilai bahasa Indonesiaku jelek, tapi ini memang
karena Alan memberikanku sebuah pemecahan yang rumit. Karena tidak ingin
terlalu berlama-lama dengan secarik kertas kecil, aku langsung bergegas
berganti pakaian, kemudian makan siang, menyelesaikan beberapa catatan, dan
melakukan kegiatan lainnya seperti hari biasa.
Keesokan harinya, jangankan hendak
bertanya pada Alan, bertemu dengannya pun tidak. Mungkin ia sedang ada
keperluan lain. Oleh karena itu, setelah habis hari aku menyegerakan pulang.
Tidak langsung kembali ke kos, namun singgah beberapa saat di sebuah taman yang
sering kulewati begitu saja. Sama seperti biasa juga. Di sana selalu tampak
beberapa anak kecil bermain dan tertawa lepas bersama teman temannya. Aku tidak
mengerti apa alasan khusus untuk berhenti, namun isi surat yang kemarin
membuatku bertanya-tanya. Hingga menjelang senja, aku masih berdiam di sana, tak
kunjung mendapatkan jawaban dari pertanyaan Alan yang pertama. Matahari
berujung ranum. Udara terasa dingin, dan helaan napas pun mulai terasa panas.
Dua hari selanjutnya, aku tetap
melakukan hal yang sama. Berdiam diri di taman menyaksikan semua keceriaan
anak-anak itu. Duduk di atas batu besar menatap ujung langit. Hingga semuanya
terus berlanjut hingga hari kelima. Aku mulai berpikir bahwa ini hanya lah
permainan atau sekedar lelucon dari Alan. Kabar anehnya lagi, ia ternyata sudah
pindah ke sekolah lain untuk melengkapi persyaratan beasiswa sekolah di luar
negeri yang akan ia terima. Aku mendapat kabar itu baru kemarin dari banyaknya
info yang beredar luas dari mulut ke mulut. Tentu saja menghebohkan. Baru kali
ini ada yang mampu mendapatkan beasiswa semacam itu. Sedangkan aku? Memilih
untuk kuliah atau tidak kuliah saja masih berkutat menatap langit-langit.
Di hari selanjutnya. Entah sudah
hari yang berapa, aku lupa. Saat hujan teramat deras. Di tengah perjalanan
pulang aku harus basah kuyup karena tidak sempat berteduh. Sesampainya di tempat kos pun, aku langsung mendapat
pekerjaan untuk memperbaiki loteng. Tentu saja, atap tempat kos itu bocor.
Terpaksa aku memindahkan beberapa barang ke ruangan sebelah. Namun tatkala memindahkan
sebuah peti kecil, aku menemukan amplop surat Alan yang waktu itu. Sedikit agak
ganjil, karena di sana juga tertera beberapa kalimat berupa surat.
“Kuharap
kebaikan selalu dilimpahkan atasmu, Refal.
Aku memperkirakan kau akan menemukan
surat rahasia ini setelah beberapa hari karena tidak menyadarinya. Langsung
pada intinya saja. Taman memang menyenangkan kawan, tapi setiap kesedihan yang
dialami seseorang takkan bisa dihapuskan begitu saja dengan hal yang kau anggap
menyenangkan, tapi belum tentu berlaku bagi orang lain. Kemudian saat awan
datang membawa hujan, tetap akan ada orang yang tidak mau menunggu karena
menunggu itu bukanlah suatu hal yang mudah.
Sama halnya sepertimu. Aku sudah
mengenalmu sejak lama. Entah kapan aku juga lupa. Bu Evi yang memberikan semua
cerita tentangmu padaku. Tentang bagaimana kehidupan dan pilihan yang harus kau
tempuh. Tentang keadaan yang kadang tak berpihak pada waktu. Jika kau sedang
bersedih, jangan paksakan diri untuk tetap berada dalam kesedihan itu. Ibumu
sedang sakit bukan? Maka kau harus segera keluar dari kesedihan itu. Bukannya
menyerah menatap langit-langit. Pasrah menunggu sebuah jawaban yang belum tentu
akan datang. Meskipun demikian jalan yang harus dilalui, kau pasti mau menjadi
orang yang menunggu hujan reda bukan? Karena aku yakin, esok atau apa pun itu
yang kau sebut sebagai hari selanjutnya, kau pasti akan menunggu untuk segera
pulang. Kau pasti menunggu untuk bisa membayar setetes keringat dari ibumu
sebelum pulang. Percayalah! Kau pasti akan melihat pelangimu sendiri saat tidak
gegabah mengambil sebuah keputusan.
Dan yang terakhir. Banyak orang yang
tanpa sadar mengubur masa lalu mereka hidup-hidup. Sama sepertimu. Aku dengar,
kau dulunya anak surau yang rajin mengaji. Hafal beberapa surah dalam
al-qur’an. Sering mengumandangkan azan layaknya para imam. Tapi sekarang? Aku
tidak bisa memastikan apakah masih seperti dulu atau tidak. Namun jika kau
memang telah mengubur masa lalumu untuk mengejar masa depan dijanjikan, kau
salah besar kawan. Kau pasti tidak akan gelisah, bingung, bahkan menyerah atas
takdir jika kau masih menggemakan beberapa kalam dari sang Maha Pencipta.
Wajahmu pasti tidak akan memaparkan kesedihan yang redup jika masih berbasuhkan
air wudhu. Peganglah kebaikan di masa lalu itu. Jangan pernah sekali pun kau
lepaskan meski terkadang lupa, dan tak sengaja mengabaikannya.”
Tubuhku
terhenyak kuat oleh semua penegasan itu.
Kemudi
stir mobil kubanting kuat saat pengelokan. Aku hampir sampai di sekolah dulu.
Kenangan sejak lima tahun terakhir, kenangan sejak Alan memberikan surat itu,
sampai aku tersadar pada sebuah titik kesalahan. Mengambil keputusan untuk
melanjutkan kuliah dan mendapatkan beasiswa. Bekerja di sebuah kantor yang
ternyata pemiliknya jauh-jauh hari mau memperistri ibu yang sudah di usir dari
kampung halaman.
Pada masa
itu, di Sekolah Menengah Atas di ibu kota. Alan mengajarkanku suatu hal yang
amat penting. Ia memintaku untuk tidak pernah sekali pun melepas sesuatu yang
berharga dari salah satu rangkaian hidup untuk hal yang lain. Terlebih saat
kita melepasnya tanpa sadar. Membiarkannya pergi entah kemana. Beruntung jika
ada orang yang berbaik hati untuk mengingatkan. Jika tidak? Oleh sebab itu, aku
harus segera menemuinya sekarang juga. Tidak perlu jika tidak ada kata pembuka
yang hangat. Entah sebesar apalagi kebahagiaan yang kutangguhkan sendiri selama
lima tahun. Tertangguhkan saat aku hendak berucap terimakasih kepadanya namun
ia tidak ada, bahkan dengan semua kerinduan yang kupunya. Alan memang hanya
sekedar menegaskan dan mengingatkan, namun ia juga telah membuatku kembali pada
sebuah keharibaan yang hakiki. Bahkan saat mobilku sudah sampai di ujung jalan,
ada semacam perasaan tak sabar ingin melihatnya. Tak sabar untuk mengajukan
banyak pertanyaan yang masih menggantung atas jawabannya.Hari ini ia berjanji
padaku akan bertemu lagi di tempat yang sama. Di kantin sekolah, dengan dua
mangkok bakso nikmat buatan ibu kantin.
oOo
Comments
Post a Comment