FILOSOFI BULAN
F I L O S O F I
B U L A N
Mobil ambulan terakhir melesat tajam menembus jalanan kota.
Seseorang tengah dilarikan cepat ke rumah sakit. Seorang kakek tua berusia
hampir seabad penuh. Tatapannya sayu, kulitnya mengeriput cepat, dan bobot
tubuhnya semakin berkurang. Ia mudah terombang-ambing karena guncangan mobil
ambulan. Tidak hanya itu, semua yang ada juga ikut bergerak sesuai gerakan
mobil. Kadang rebah ke kanan saat meliuk ke kiri, kadang juga sebaliknya. Di
sisi kiri dan kanan ada dua orang perawat, laki-laki. Mereka berpakaian serba
putih dan masker separuh wajah. Di dekat mereka ada seorang gadis kecil yang
menangis terisak. Kemudian di sebelah si gadis kecil lagi, ada perempuan paruh
baya yang terus berusaha memberikan ketenangan dengan mata sembab memerah. Ia
juga tengah menangis.
Malam
semakin larut. Jalanan lengang. Sopir ambulan itu cekatan mengtur kecepatan
agar tidak meliuk jatuh saat tikungan. Kemudian memilih persimpangan jalan
dengan tepat tanpa sedikitpun kesalahan. Keadaan mencengkam semakin memangkas
habis semua tangis, kakek tua yang tengah terbaring dalam mobil itu tiba-tiba
terbatuk keras. Memuntahkan darah hingga perbatasan perut. Dua orang perawat
yang sudah berjaga seketika berusaha memperbaiki keadaan. Mengatur kadar infus,
memakaikan topeng oksigen, dan melakukan pemeriksaan cepat.
Tatkala
keadaan mulai tenang, dan ambulan mulai
memasuki kawasan rumah sakit, tiba-tiba kakek itu batuk lagi. Teramat serak,
hingga memuntahkan darah yang lebih banyak!
“Bunda!”
gadis kecil itu berteriak histeris. Gaun kuning miliknya juga terkena darah.
“Tenang
sayang. Tenang!” timpal perempuan bermata sembab.
“Kakek,
Bunda! Kakek!” gadis kecil itu masih ketakutan.
“Iya
sayang. Kakek tidak apa-apa!”
Tidak
hanya mereka berdua yang panik, dua orang perawat yang sejatinya sudah dilatih
hebat sekalipun tetap berkeringat dingin. Belum pernah ada pasien yang seperti
ini sebelumnya. Tidak pernah ada batuk seserak ini. Tidak pernah ada batuk yang
memuntahkan darah sebanyak ini. Tidak pernah, sama sekali tidak!
“Kau
bersihkan darahnya. Kita hampir sampai!” salah seorang mengomandoi cepat. Mereka
hendak mendekati pintu depan UGD rumah sakit. Tidak banyak yang berjaga di
luar, namun tatkala ambulan berhenti tepat dan sejajar dengan koridor utama,
seketika banyak perawat yang berhamburan keluar. Menyambut tugas tengah malam
seperti malam-malam di minggu lalu. Sedangkan perempuan paruh baya dan gadis
kecil bergaun kuning itu turun dari ambulan dengan tampang kusut serampangan.
Terlebih mata sembab merah itu, sama sekali tidak bisa disembunyikan. Kemudian
mereka berdua mengikuti kakek tua itu digotong para perawat sampai ke pintu
ruangan perawatan darurat.
Hanya
sampai di sana. Tidak boleh masuk. Sekarang perempuan dan gadis bergaun kuning
itu disuruh menunggu di luar. Mereka berdua saling berpelukan. Berusaha menahan
tangis yang tak tertahankan. Gadis kecil itu memelintir ujung baju ibunya.
Kedua bola matanya menatap kosong. Memikirkan ulang semua kejadian tadi sore.
Saat semua orang bersorak riuh di halaman belakang, memberikan tepuk-tangan
terheboh, bahkan menyanyikan semua lagu kesukaannya. Saat sebuah lilin
berbentuk angka lima yang menancap di atas kue ulang tahun, dan saat ia hendak
meniupnya pelan dengan semua harapan terindah yang ia punya, ia berujar.
“Tyas
tidak ingin kakek pergi, Tyas tidak ingin kesepian.”
Airmatanya
bahkan menetes tepat sebelum ia meniupkan lilin. Kemudian dalam hitungan detik
setelah itu, terdengar rintihan dari dari dalam rumah. Itu suara kakek yang
tengah terbaring di tempat tidur. Ia sakit sudah berbulan-bulan. Sekalipun
tidak pernah beranjak dari tempat tidur, dan sekarang? Seketika pesta kecil itu
usai.
Sementara
itu pada sisi yang lain. Dia yang tengah memeluk tangis si gadis kecil.
Perempuan paruh baya dengan mata sembab memerah itu memutar ulang dua memori
ingatan sekaligus. Semua rekaman jejak terangkai dengan utuh, tak kurang satu
hal pun. Ia juga teringat dengan rintihan kakek tua tadi sore, rintihan sang
ayah. Ini adalah ke sekian kalinya ia membawa sang ayah ke rumah sakit, namun
belum pernah dengan keadaan yang separah ini. Di usianya yang sekarang, mungkin
sudah waktunya untuk merasakan kehilangan lagi setelah mendiang suaminya
meninggal karena kecelakaan pesawat. Batuk serak yang memuntahkan darah banyak
itu semakin membuat hatinya meleleh. Akan tetapi, seketika itu pula ingatannya
beralih pada kejadian beberapa bulan yang lalu, kemudian waktu merangkainya
sampai hari ini. Waktu itu, tepat pada saat semua tanda-tanda itu dimulai.
Hari
itu Tyas belum cukup lima tahun. Ia mengalami demam tinggi hingga suhu 380C.
Setelah satu minggu demam itu tak kunjung turun. Tyas dilarikan cepat ke rumah
sakit. Napasnya selalu sesak saat perjalanan di ambulan. Ia juga mengeluh sakit
kepala yang teramat sangat. Kejadian itu membuat sisi lain dari sang ibu
terguncang hebat. Banyak pemikiran buruk sektika menghampirinya. Belum lagi
dengan keadaan sang ayah yang sendirian ia tinggal di rumah, namun harus
bagaimana lagi? Sedikitpun ia tidak bisa menolak untuk tidak memilih salah satu
di antaranya. Kemudian ketika waktu bergerak lebih cepat, dan setelah
pemeriksaan intensif selesai, seorang dokter anak berkacamata datang
menghampiri perempuan paruh baya itu. Ia memberikan kabar buruk tentang
penyakit yang diderita Tyas. Dengan fasih sang dokter menjelaskan tentang Menigitis, sebuah infeksi yang menyerang
pada selaput pelindung otak dan saraf tulang belakang milik Tyas. Selaput
pelindung yang terinfeksi itu meradang kuat hingga terjadi pembengkakan. Sang
dokter juga menjelaskan, bahwa penyakit berbahaya itu dapat meregang nyawa
dalam hitungan bulan. Terlebih saat semua gejala sudah hampir separuh dari
semuanya.
Tak
kuasa menahan tangis, perempuan paruh baya itu memohon pada sang dokter untuk
memberikan yang terbaik, sayang, dokter itu hanya menggelengkan kepalanya,
turut merasa prihatin atas kejadian itu. Tyas sudah jauh dari terlambat untuk
dibawa ke rumah sakit. Dengan senyum yang dipaksakan, dokter itu hanya
memberikan masukan agar Tyas dirawat di rumah sakit saja, barang kali ada
kemajuan meskipun tidak memungkinkan. Lama termenung dan berpikir, perempuan
bermata sembab itu lebih memilih untuk membawa Tyas kembali pulang. Tidak
berharap banyak atas kesembuhan, karena itu sudah di luar kemungkinan. Namun ia
tetap berharap pada sebuah keajaiban, yang tak pernah sekalipun menutup
kemungkinan. Akhirnya mereka pun pulang, berkumpul bersama, dan menghabiskan
waktu bersama. Bertiga.
Tyas
sangat dekat dengan kakeknya.
Setiap
hari mereka bermain bersama. Tyas tidak pernah merasakan kehadiran seorang ayah
saat telah terlahir ke dunia. Kecelakaan itu terjadi saat ia masih dalam
kandungan. Oleh karena itu, kehadiran seorang kakek menjadi sangat penting
baginya. Hingga mendekati usia 89 tahun, sang kakek hanya bisa berbaring di
tempat tidur. Tidak lebih. Itu saja sudah cukup untuk menjadi alasan mengapa Tyas
meminta agar kakek tidak pergi, terlebih saat permohonan tadi sore, sebelum
meniup lilin di hari ulang tahunnya yang ke-5.
Beberapa
menit berlalu.
Seorang
dokter senior baru saja keluar ruangan. Ia mendekati perempuan bermata sembab
itu dan mengajaknya berbicara, sedikit menjauh dari Tyas. Anak kecil tidak
boleh langsung tahu sekalipun itu kabar baik.
Sang dokter mulai angkat
bicara. “Keadaannya sudah membaik. Hanya terjadi sedikit komplikasi dengan
penyakit lama yang beliau derita. Namun untuk saat ini, biarkanlah beliau
beristirahat sejenak. Setidaknya untuk malam ini, ia tidak boleh diganggu.”
Jelasnya mantap.
Perempuan
paruh baya itu mengangguk paham. Setelah mengakhiri pembicaraan, ia segera
berbalik badan dan kembali duduk di samping Tyas, namun sesaat sebelum
benar-benar duduk, dengan tidak sengaja ia melihat ada bintik-bintik merah
menyebar di leher Tyas. Karena penasaran ia segera memeriksa bagian tubuh Tyas
yang lain, benar saja, di seluruh punggung dan pangkal lengan, semuanya hampir
ditutupi bintik-bintik merah tersebut.
Ada
kecemasan besar terbesit tiba-tiba. Ingatan yang sama kembali terulang, tapi
lebih sempurna. Sewaktu ia hendak membawa pulang Tyas beberapa bulan yang lalu
dari rumah sakit, dokter anak berkacamata itu sedikit menyinggung tentang
bintik-bintik merah itu. Benar-benar teringat dengan jelas.
“Kami
sudah mengusahakan yang terbaik. Jika kita tetap melakukan operasi sedangkan
kondisi Tyas sudah sangat parah, hal itu akan mengancam keselamatannya. Selaput
pelindung yang membengkak itu sangat rentan. Sekali lagi, ini sudah jauh dari
kata terlambat. Penyebaran dan pertumbuhan infeksinya berlangsung sangat cepat.
Ini di luar kendali, sekalipun kami mempunyai alat dan tim medis yang cukup,
itu sama sekali tidak akan mengubah keadaan. Jika kelak timbul ruam kulit
berupa bintik-bintik merah yang tersebar di permukaan tubuhnya, berarti semua
gejalanya sudah lengkap. Seharusnya kami bisa melakukan perawatan lebih
intensif, tapi tidak untuk Tyas. Kelainan infeksi ini sangat ganas, dalam
hitungan jam saja kita sama sekali tidak boleh lengah. Maaf.”
Ingatan
itu teramat tajam. Membuat perempuan bermata sembab itu kini hanya bisa menatap
kosong. Membelai rambut Tyas dengan semua kehampaan. Ia juga ingat, pagi hari
sebelum acara ulang tahun itu, ia sempat melihat Tyas muntah-muntah di kamar
mandi, dan itu adalah penanda dari munculnya ruam kulit itu. Tapi kenapa ia
tidak memperhatikannya? Bukankah dalam hitungan jam saja pengawasan terhadap Tyas
tidak boleh lengah?
“Bunda,
kita sudah boleh melihat kakek?” ujar Tyas memecah keheningan.
Sekarang
ada bagian hati yang terasa getir. Tyas sama sekali tidak tahu akan
penyakitnya, dan perempuan bermata sembab itu juga tidak akan pernah mau
mengatakannya. Kenapa perhatiannya harus pecah? Di saat ia harus menjaga sang
ayah, ia juga harus mengawasi si gadis kecil. Tyas tidak pernah meminta, ia
hanya ingin mereka selalu bersama, bertiga. Terlebih dengan acara ulang tahun
sore hari ini, di saat keadaan Tyas semakin memburuk sedangkan ia sendiri tidak
tahu.
Perempuan
bermata sembab itu masih belum menjawab.
“Bunda?”
Tyas berusaha menegur ibunya yang melamun.
Sungguh,
bukannya ia tidak mendengar atau tidak ingin menjawab, tapi harus seperti
apalagi bentuk kata yang keluar untuk menjawab pertanyaan kecil seperti itu?
“Tyas
tidak ingin kakek pergi, bunda.”
Badan
Tyas kembali panas, tatapannya sayu. Andai ada seseorang yang lewat di dekat
mereka saat ini, maka ia akan melihat butiran hangat itu jatuh dari matanya
yang sembab. Sungguh tidak tertahankan, sekarang Tyas hanya bisa menyandarkan
tubuh mungilnya dalam pelukan sang ibu. Bisa jadi ia terlelap, karena tak ada suara
lagi. Ketika ia hendak menggendong Tyas ke dalam ruangan tempat kakeknya
dirawat, tatkala itu pula ada seorang perawat perempuan tiba-tiba keluar dari
ruangan yang sama. Ia menyapa Tyas yang separuh terkantuk, dan memberikan senyum
untuk menyapa.
“Maaf,
apa ayah saya masih dalam pemeriksaan?” tanya perempuan bermata sembab itu.
Mereka berpapasan saat hendak masuk.
“Iya,
beliau masih dalam pemeriksaan.”
“Bukannya
tadi dokter sudah keluar?”
Sekarang
perawat perempuan itu kembali mengumbar senyum. “Memang sudah, tapi seperti
yang dikatakan dokter, pasien belum boleh dibezuk. Sebaiknya kita keluar dulu,
mencari udara segar. Saya akan menemani ibu.”
Sembari
menggendong Tyas, ia mengikti perawat itu ke taman depan rumah sakit. Di sana
ada kursi taman yang tentu saja cukup untuk mereka.
Udara
malam ini tidak terlalu dingin. Di langit juga ada bulan yang masih bersinar
terang. malam ini tentram, suara jangkrik pun bahkan terdengar sangat pelan. Satu
menit berlalu, mereka baru saja duduk di kursi taman di sana.
“Keadaan
pasien sudah membaik, ibu tidak perlu cemas.” Perawat itu mengawali
pembicaraan.
Alih-alih
memberikan tanggapan lebih baik, di luar dugaan, ternyata perempuan itu tidak
mudah melupakan penyakit sang ayah. Ia lebih tahu tentang suatu hal yang
mungkin tidak diketahui sang perawat. “Benar, tapi ini sudah komplikasi yang
ketiga. Tidak tertutup kemungkinan akan timbul peradangan yang lebih parah.
Saya rasa itu sudah terjadi, di dalam ambulan sesaat sebelum kami sampai, ayah
batuk keras hingga memuntahkan banyak darah. Kau pasti tahu bahwa sebenarnya organ
vital ayah tidak akan sanggup bertahan satu malam lagi bukan?”
Perawat
itu tersedak diam. Ia sadar bahwa sebenarnya ia telah kalah dalam berdebat
menenangkan perasaan orang lain. “Ya, sebenarnya aku memang tahu. Maaf.”
“Tidak
lama lagi aku akan kesepian. Benar-benar kesepian.” Perempuan bermata itu
menyahut permintaan maaf lawan bicaranya.
“Aku
sebenarnya juga tahu bahwa ibu akan merasa kesepian. Hanya sepercik kemungkinan
baik bahwa dua orang yang ibu sayangi masih bisa berada disini. Saya juga adalah
perawat yang sama yang ikut merawat Tyas beberapa bulan lalu. Saya tidak akan
pernah lupa kejadian yang satu itu, di mana ibu lebih memilih untuk membawa Tyas
pulang daripada dirawat di rumah sakit. Itu adalah pilihan yang bijak, meskipun
ibu sendiri tahu bahwa merawat Tyas di sini tidak akan membuahkan hasil yang
signifikan.”
“Dan
aku serasa tidak punya apa-apa lagi. Kehidupanku hancur.” Perempuan di
sebelahnya menimpa cepat.
“Ibu
tidak boleh seperti itu.”
` “Memangnya
apa yang bisa aku lakukan lagi?! Kau sendiri tidak tahu seperti apa rasanya
mengetahui bahwa orang-orang yang berharga dalam hidupmu akan segera pergi. Kau
tidak tahu seperti seperih apa rasanya menyimpan semua kesedihan seorang diri,
bahkan menyembunyikan rahasia besar di hadapan orang yang akan kau temui setiap
hari! Melihat wajah ayah dan Tyas sudah cukup untuk membuatku melupakan sejenak
semua perih itu. Tapi sekarang?!” terdengar sedikit amarah menyeruap. Kedua
mola mata perempuan itu melotot tajam. Lupa bahwa Tyas tengah tertidur lelap di
pangkuannya.
Tidak
terima dengan nada tinggi itu, sang perawat berusaha menenangkan diri. Mencari
kata-kata terbaik agar pembicaraan mereka kembali baik. “Aku memang tidak
mengerti, tapi kesepian tidak akan pernah datang tanpa alasan, bu. Itu yang
kutahu.”
Sehembusan angin malam menelisik daun telinga
lebih pelan. Keduanya sama-sama terdiam untuk penjelasan singkat yang satu itu.
Tidak lama bertatapan, perempuan bermata sembab itu langsung menekur diri. Ia
terlalu takut dengan keadaan. Ia takut jika kesepian akan datang lebih cepat.
Ia mengutuk diri bahwa selama ini ia telah lalai, belum bisa menjadi yang
terbaik untuk orang-orang yang ia sayangi, belum bisa menjaga Tyas dan ayahnya
dengan sepenuh hati yang ia punya. Seharusnya ia tidak terlambat untuk
mengantarkan Tyas ke rumah sakit. Seharusnya ia tahu, bahwa Tyas benar-benar
membutuhkan perhatiannya. Tidak lebih!
Perawat
itu mengehela napas. “Akan kujelaskan mengapa kesepian datang, meski sebenarnya
kita mengharapkan ia pergi.”
Perempuan
di sebelah tak memberikan jawaban. Masih terpekur diam.
“Hampir
setiap malam aku duduk di sini. Menatap langit seorang diri. Kadang aku melihat
bulan muncul bersama bintang, kadang aku hanya melihat bulan seorang diri, sama
seperti malam ini. Sama juga sepertiku. Awalnya aku memang merasa kesepian,
tapi ternyata bulan memberitahuku bahwa kesepian tidak akan pernah datang tanpa
alasan. Menatap bulan yang kesepian ibarat berkaca atas diri sendiri, di saat
kita merasa kesepian, berbeda, merasa kurang, mengecewakan, bahkan belum mampu,
kita harus tetap berdiri teguh. Seperti bulan yang tetap berusaha menerangi
malam walau ia hanya sendiri. Bukan karena alasan ‘harus’ atau ‘sekedar
membangkitkan semangat diri’, namun lebih dari itu semua.
“Harganya sangat mahal,
tak ternilai dengan hitungan material, dihargai setinggi langit, dan keberkahan
pahala kebaikan. Ibu pasti bertanya mengapa bisa demikian, bukan? Jawabnnya sederhana,
karena ‘kita percaya bahwa, masih ada orang yang membutuhkan kita.’ Apa itu
belum cukup? Bulan memberikan bukti yang nyata, bu. Dengan kehadirannya, malam
tak sepenuhnya gelap, nelayan bisa memperkirakan pasang surut air laut, sedikit
cahayanya masih dibutuhkan makhluk hidup lain untuk mencari makan,
menyeimbangkan perputaran siklus air laut, dan masih banyak lagi. Ya, meski
tidak persis sama, kita tetap tidak boleh jatuh saat orang lain masih
membutuhkan kita. Sekali lagi, itulah alasan mengapa bulan tetap setia
bercahaya meski seorang diri di langit malam, karena kesepiannya datang dengan
semua alasan.” Perawat itu mengakhiri penjelasannya.
Selang waktu berdetik.
Lama terdiam. Memikirkan
ulang semua penjelasan panjang itu sebelum akhirnya perempuan bermata sembab
itu angkat bicara. “Memangnya siapa yang masih membutuhkanku?”
Perawat itu kembali mengumbar senyum. Ia bangkit kemudian
menundukkan badan agar bisa mengecup dahi Tyas. “Siapa lagi kalau bukan mereka
yang akan ibu temui nanti.”
“Mereka?”
“Iya, tapi itu belum menjadi urusanku. Sore ini Tyas
mengajukan permohonan yang sangat sulit untuk dikabulkan. Ia tetap ingin
bersama kakeknya sedangkan keadaan sama sekali tidak memungkinkan. Namun kuasa
langit lebih tahu segalanya. Oleh karena itu, permintaan terbaik selalu akan
dikabulkan dengan cara terbaik pula. Kuharap ibu tidak pernah mengutuk kesepian
lagi.”
Bagai terperangah hebat.
Bumi seakan berhenti berputar. Setiap detik bergerak pelan, semuanya terasa
mengambang pelan di udara. Ada perasaan takut, cemas, dan bingung dalam waktu
yang bersamaan. Perempuan bermata sembab itu tak sedikitpun mengubah ekspresi
patung di wajahnya. Sungguh, ia baru saja menyadari tentang dengan siapa
sebenarnya ia tengah berbicara. Bagaimana perawat itu bisa tahu apa yang
diucapkan Tyas dalam permohonannya? Bukankah permohonan itu hanya terbesit di
dalam hati? Bahkan ia sendiri yang berada tepat di samping Tyas sama sekali
tidak bisa mendengarnya.
Sekarang? Perawat itu
pergi begitu saja.
Hanya bulan yang tahu
tentang apa yang sebenarnya tengah terjadi. Sudah lebih dari puluhan hitungan
detik, perempuan bermata sembab masih melamun di sana. Menatap satu titik yang
tidak jelas. Andai saja semua kesadarannya utuh, tentu saja ia akan mendengar
hiruk pikuk petugas medis yang tengah memanggil-manggil namanya. Bukan sekedar
memanggil, namun mengabarkan bahwa sang ayah yang tadinya dikabarkan baik, ternyata
baru saja menghembuskan napas terakhir.
Bulan
menatap kasihan.
Satu,
dua, hingga detik-detik selanjutnya.
Beriringan
dengan airmatanya yang mulai menetes membasahi pipi, isak tangis yang tak
tertahankan, hingga gambaran tentang kesepian itu, semuanya benar-benar terasa
pelik. Sekarang perempuan bermata sembab itu semakin mempererat pangkuannya
pada tubuh mungil Tyas, sampai-sampai ia sendiri tidak sadar, bahwa Tyas sudah
tidak lagi bersamanya.
oOo
Comments
Post a Comment