Tentang siapa sebenarnya sahabat
P e n g h a
p u s a n
Tentang Penyadaran yang datang
“Awas! Kau menginjak kalengnya!” Lim
berbisik pelan dari seberang gerbang. Melihat Teo berbuat nekat seperti itu benar-benar
membuatnya merinding. Lihatlah! Sosok yang tengah ia perhatikan baru saja
memanjat gerbang pembatas setinggi tiga meter, yang di dekatnya juga ada seekor
anjing penjaga bertelinga tegak.
“Tidak akan. Aku sudah sering
melakukannya.” Yang ditegur menimpal datar.
“Iya, tapi kau tidak boleh langsung
melompat, hati-hati dengan kaleng makanan anjingnya.” Lim menghela napas.
Sejenak memperhatikan gerak-gerik Teo yang tidak meyakinkan. Kakinya
tidak bertumpu kuat pada celah-celah gerbang, namun ia tetap bisa sampai di
bagian paling atas. Namun tatkala hendak turun, pegangannya terlepas, langsung
melompat dan...
Prakk!!!
Suara kaleng bertumpuk itu menggelegar
seketika. Anjing penjaga di pos penjaga langsung terjaga hebat. Lim panik tak
karuan. Dengan cepat ia langsung menarik ransel besarnya dan belari menjauh.
Napasnya terburu di antara takut dan kekesalan. Ia menoleh ke belakang mencari
bayang-bayang Teo yang juga ikut lari belepotan mengejarnya. “Kau benar-benar
gila, bocah!”
Yang disindir dari malah tertawa
lepas. “Ini menyenangkan, Lim. Kau tidak akan pernah mendapatkannya lagi saat
sudah tua besok.” Timpal Teo dengan napas tersengal-sengal. Ia masih memacu
langkah hingga menyejajari Lim di sampingnya. Mereka berlari
seiringan.
Lim menoleh. “Tapi ini lebih dari
sekedar gila, aku tidak ingin jadi sampel bekas gigitan anjing seperti itu.
Cepatlah! Dia mengejar kita, bocah!”
Teo masih tertawa lepas. Ia tidak
begitu peduli dengan makhluk yang tengah mengejar mereka sekarang. Yang jelas
semuanya sesuai dengan rencana tadi siang di sekolah. Malam ini mereka harus
sampai di puncak bukit Jiram. Tidak ada lagi besok untuk menunggu. Lim akan segera pinda ke luar kota, dan
kebersamaan terakhir menjelang perpisahan harus diisi dengan hal yang takkan
pernah terlupakan. Berawal dari mengendap-ngendap keluar rumah, membawa bekal
cemilan satu ransel jumbo, sampai keluar dari kompleks perumahan seperti ini.
Untung satpamnya sudah tertidur. Mereka lebih memilih memanjat
gerbang setinggi tiga meter itu dari pada harus melewati semak-semak pembatas
jalan yang lebih aman. Ini masih idenya Teo. Malam ini harus benar-benar
berkesan.
Mereka terus berlari hingga waktu
berselang menit.
“Hufft... hufft... anjingnya sudah
tidak mengejar lagi bukan?” setengah sesak Lim memaksa bertanya pada orang yang
juga berlari di sebelahnya.
Sesaat sebelum hendak menjawab, Teo
memperlambat lajunya. Ia membiarkan Lim berada beberapa langkah di depannya.
Menoleh ke belakang, anjing penjaga yang mengejar tadi sudah tidak ada. Tapi ia
punya ide yang lebih menarik.
Teo tersenyum simpul, kemudian
langsung berlari mendahului Lim seraya berteriak. “Anjingnya
masih mengejar, bocah!!!”
Lim yang tidak sempat memastikan
terkesiap naik darah. Ia terpaksa memacu langkah untuk yang kedua kali. Namun
baru beberapa saat sebelum sampai di tikungan, ia menyadari baru menyadari
bahwa anjing penjaga tadi sudah tidak mengejar mereka lagi. Lim menatap geram.
Ini sudah yang ke sebelas kalinya Teo mengerjainya habis-habisan sejak pulang
sekolah. Harusnya tidak seperti ini. Tapi kenapa?
“Hei! Aku tidak akan menunggu lebih lama
lagi. Apa kau mau berdiri sendirian di tengah jalan malam-malam seperti ini.”
Teo menyahut dari jauh. Seketika Lim merinding. Sejauh ini hanya Teo yang tahu
kalau dia adalah orang yang penakut. Jika saja semua teman-teman di sekolah
tahu, bisa-bisa ia jadi bahan olok-olokan setiap hari.
“Awas! Kubalas kau!” Lim kembali bergerak.
Kali ini lebih cepat dari yang sebelumnya.
“Kau tidak akan bisa mengejarku!”
“Tentu saja aku bisa!”
Maka dimulailah kejar-kejaran dua sahabat itu mengitari jalanan, lalu
menyimpang ke sebuah jalan tikus. Menyela gang sempit di dekat surau, lalu
akhirnya tiba di kaki bukit Jiram. Teo meregangkan otot-ototnya sembari
menunggu Lim yang baru datang dua menit kemudian.
“Dasar lamban.” Teo langsung mengoceh.
“Kau yang curang! Anjing itu memang sudah
tidak mengejar lagi bukan?!” Napas Lim tersengal-sengal. Berusaha membela diri.
“Terserah kau saja.”
Lim menelan ludah. Napasnya kembali normal.
Sekarang mereka berdua terpaku diam menatap puncak bukit Jiram dari kejauhan.
“Sekarang kita sudah sampai disini. Kau harus
beritahu apa sesuatu yang besar itu.”
Teo tersedak. Hampir saja ia lupa dengan
rencana besarnya. Pasti mereka sudah sangat lama menunggu. Tapi, mau bagaimana
lagi. Dengan sedikit keterampilan, paling tidak ia bisa membumbui Lim dulu
sebelum dilumpuri habis-habisan.
“Kalau dari sini kau takkan bisa melihatnya.” Ujar Teo.
“Kau hanya perlu mengatakannya bukan?”
“Memang, tapi sesuatu yang besar juga harus
dikatakan dengan sesuatu yang besar.” Teo menyimpul singkat.
Yang mendengar simpulan itu malah melipat
dahi kebingungan.
“Sudahlah. Aku benar-benar akan mengatakannya
saat sudah sampai di puncak.”
“Di puncak?”
“Ya, Cuma sepuluh menit. Kakimu tidak akan
patah, bocah.”
Kemudian dalam lima menit berikutnya, mereka
sudah sampai separuh perjalanan. Bukit Jiram adalah bukit yang terletak di
ujung pemukiman. Sebuah tempat yang sangat indah saat senja maupun matahari
terbit. Akhir-akhir ini juga banyak turis yang berdatangan. Entahlah, kadang
media benar-benar membuka segalanya tanpa banyak perhitungan.
Dua menit lagi berlalu. Mereka berjumpa
dengan sepasang turis yang tengah berisitirahat di dekat pondok. Di sana juga
terparkir sepeda mereka. Meski belum begitu terkenal, pemerintah daerah telah
terlebih dahulu memfasilitasi kawasan wisata ini agar nyaman dinikmati semua
pengunjung. Pada setiap radius sepuluh meter, akan ada pondok-pondok yang
menanti tatkala penat datang tiba-tiba. Penerangannya juga sudah hampir
sempurna. Tiang-tiang tinggi dengan lampu di puncaknya setiap malam selalu siap
berjaga.
“Aku akan merindukan pemandangan ini, kawan.”
Tiba-tiba perkataan itu terlontar dari mulut Lim. Sedangkan Teo yang
mendengarnya malah merasa getir. Jujur, Teo benar-benar belum bisa menerima
kehendak ini. Ia tidak ingin kehilangan sahabat karibnya. Tidak untuk tiga
tahun terakhir dan tidak pula untuk tahun-tahun yang akan datang. Sudah banyak
kejadian yang telah mereka lalui bersama. Lebih dari
sekedar sahabat. Mereka berdua adalah keluarga. Sesekali Teo datang ke rumah
Lim, sesekali sebaliknya. Mereka datang tidak sekedar bertandang. Belajar
bersama, makan bersama, tidur bersama, bahkan hampir semuanya. Ibunya Teo
adalah ibunya Lim. Ibunya Lim adalah ibunya Teo. Mereka selalu bersama. Tidak
pernah terpisah sekali pun sejak pertama kali berkenalan.
Itu pun tepat tiga tahun yang lalu.
Namun tiba-tiba kehendak itu muncul.
Orangtuanya
Lim akan menyekolahkannya di perguruan tinggi di luar kota. Merancang semuanya
dengan sistematis yang masuk akal. Nilai Lim selalu baik. Bahkan di setiap semesternya. Tampang berkacamata tidak
selamanya menjadi kutu buku. Teo selalu ada untuknya saat sekumpulan preman
sekolah mulai datang mengganggu. Lalu
mengapa kehendak itu harus muncul? Bukankah mereka sudah berjanji untuk untuk
lanjut ke perguruan tinggi yang sama?
“Jika kau merindukan pemandangan ini, berarti aku akan sangat merindukanmu.” Perkataan yang
sama juga terlepas begitu saja.
Lim menoleh. “Apa?”
Teo tersedak untuk yang kedua kalinya. Hampir
saja ia menggagalkan rencana. Perasaan yang membuncah kuat benar-benar teramat
sulit untuk ditahankan. Untung saja hembusan angin dari langit berpihak lebih
cepat. Atau mungkin memang pendengaran Lim yang bermasalah? Ah, tidak mungkin.
“Apa aku mengatakan sesuatu?” Teo pura-pura
bertanya. Menatap dengan tampang meyakinkan.
“Entahlah. Mungkin tidak.” Lim juga tidak
terlalu merespon. “Jadi kapan kau akan mengatakannya?”
Teo menghirup napas lega. “Sebentar lagi.”
Mereka terus berjalan.
Malam ini angin dari langit terasa hangat.
Bukan karena tidak adanya hembusan, namun karena buncahan perasaan Teo yang
masih terpekur diam dalam pikirannya sendiri. Meski sejak sepulang sekolah ia
mulai bertindak aneh dan sering mengerjai Lim, namun dibalik itu semua
terbungkus dengan rapi kesedihannya yang hendak menetes. Bukan karena cengeng, tapi jauh lebih berharga daripada itu.
Mengenang semuanya memang tidak mudah.
Tepat pada pertemuan pertama saat itu. Tiga
tahun yang lalu. Sebuah truk pindahan menurunkan barang-barang di seberang
jalan rumah Teo. Lima menit kemudian sebuah sedan silver metalic juga parkir
disana. Teo menatap dari jendela kamar. Penasaran akan tetangga barunya. Ia
memperhatikan dengan seksama. Dari sedan itu keluar
seorang perempuan paruh baya berpakaian rapi seperti orang-orang kantoran pada
umumnya. Masih sibuk dengan sebuah ponsel yang melekat di pipi kanan. Ia
membukakan pintu belakang. Maka turunlah Lim disana seperti orang yang yang
baru keluar dari penjara lalu masuk lagi ke dalam penjara. Maksudnya, meski
saat itu Teo belum tahu siapa anak yang sebaya dengannya itu, namun ia bisa
merasakan wajah murung yang menyedihkan. Tanpa warna. Tak ada cahaya sedikit
pun.
“Kita sudah sampai. Inilah rumah baru kita,
Lim.” Perempuan paruh baya itu berujar seadanya. Teo dapat mendengar dengan
baik. Seberang jalan tidak terlalu jauh bukan? Oh satu lagi. Saat itu Lim masih
menggunakan kacamata (sekarang tidak lagi, karena sering diejek si mata empat,
ia lebih memilih menggunakan softlens
yang dilekatkan langsung ke bola mata).
Yang ditegur hanya diam.
Muka redup itu masih terbayang jelas oleh
Teo. Namun di keesokan harinya Teo bisa-bisa saja melihat Lim langsung berparas
cerah. Entah mungkin itu karena hari pertama di sekolah baru yang kebetulan
sama (Lim juga
satu kelas dengannya). Namun
ketika pulang sekolah, Lim terpaksa harus memperhatikan lagi dari jendela
kamarnya. Benar! Lim kembali memasang wajah redupnya. Penasaran dengan semua
yang ia lihat. Maka di hari berikutnya ia berkenalan dengan Lim (yang masih
berkacamata). Awalanya tidak banyak bercerita, tetapi dengan seiring
berjalannya waktu. Lim mengungkapkan semua.
“Kau tahu, aku tidak seberuntung dirimu yang
bisa menghirup udara segar di setiap harinya. Udara yang kuhirup terasa pengap.
Aku tidak bisa merasakan hangatnya mentari sepertimu, matahariku membeku seperti es. Dingin. Termat
malah. Kau tahu Teo. Sepeninggal ayahku, semuanya berubah. Ibu mengambil alih
semua pekerjaan ayah. Pernah terpikir bahwa ibuku mungkin tidak akan menyukainya,
namun keadaan di luar dugaan. Ibuku seolah-olah terhipnotis hebat oleh kehidupan
dunia. Tanpa sadar ia telah merenggut semuanya secara perlahan dariku. Aku
memiliki aturan yang mungkin takkan pernah dimiliki anak-anak yang lain.
Kehidupanku diatur secara sistematis. Terurut dari alphabet awal hingga akhir.
Bukan bahagia seperti anak bangsawan, namun tersiksa. Aku tidak boleh melakukan
banyak hal, termasuk hal
yang paling kuinginkan sekali pun.
Pendidikanku harus melalui jalur ini, bukan itu. Bergaul seperti ini, bukan
seperti itu. Semuanya diatur, benar-benar dengan paksa. Aku ingin sepertimu,
Teo. Aku juga ingin merasakan mentari yang hangat. Hingga perasaan dan
pembangkangan ini tentram. Karena aku tahu, bahwa pembangkangan di dalam hati
yang kulakukan adalah dosa besar yang takkan terpatrikan oleh langit.”
Semua kengan itu kembali seperti pemutaran
film di bioskop. Tergambar begitu jelas. Hening.
Namun Teo tentu memiliki alasan kenapa ia
berbuat sedemikiannya karena ingin tahu bukan? Di hari kedua di sekolah baru,
Lim dipalak habis-habisan oleh preman-preman sekolah, pada saat yang bersamaan
itu pula Teo tiba-tiba muncul, dan melakukan baku hantam. Terlebih saat ejekan
si mata empat, kutu buku, atau ejekan anak rumahan tiba-tiba mencuat
dari bumi. Teo langsung ambil alih. Mengancam setiap mereka yang berani
melakukan itu lagi. Semua yang dilakukannya benar-benar memiliki alasan yang
kuat.
Teo bukanlah keluarga yang berada. Hanya
pas-pasan bahkan kurang. Ibunya tengah berada di rumah sakit dengan sel kanker
ganas di tubuhnya. Namun tatkala seseorang datang di hari pertama pindahnya Lim
ke rumah baru di seberang rumahnya, ia bisa hidup dengan perekonomian yang
normal lagi. Bagaimana tidak? Ayah Teo hanyalah seorang buruh kasar. Kebutuhan
hidup pun teramat sulit untuk didapatkan. Lalu bagaimana dengan biaya operasi
kanker ibunya?
Malam itu Teo mendengar bel depan rumah
berbunyi. Seorang tamu? Sejak kapan?
Ternyata yang datang adalah ibunya Lim. Ia
datang bersama Lim hanya sekedar untuk berkenalan sebagai tetangga baru. Teo
hanya mengintip dari dinding tangga. Ia masih mendapati wajah suram dari anak
berkacamata itu. Entahlah, sebelumnya ia memanglah tipe orang yang tidak
terlalu peduli. Hingga pada saat ia mendegar pembicaraan mereka di ruang tamu
tentang pekerjaan baru, dan biaya operasi kanker. Teo mulai merasa berbeda.
Sejak saat itulah Teo merasa bahwa ia merasa benar-benar berhutang budi pada
ibunya Lim.
Selang waktu satu tahun.
Teo dan Lim semakin akrab dalam berbagai hal.
Melalui banyak kejadian bersama. Benar-benar seperti keluarga. Namun satu hal
yang baru ia sadari di dua tahun berikutnya, tepatnya satu minggu yang lalu
sebelum kehendak ibunya Lim benar-benar dipaksakan.
Teo terpekur. Menghentikan langkah.
Meski sudah bersahabat dalam tiga tahun, namun
Lim masih saja seperti dulu. Ia berwajah tebal di sekolah seakan-akan tidak
terjadi apa-apa. Terlebih saat bersamanya, Lim juga tidak pernah lagi
menceritakan sebutir pun permasalahannya yang ada di rumah. Lim berwajah tebal.
Tak ada seorang pun yang tahu bahwa Lim tengah menyembunyikan kesedihannya,
kecuali Teo.
Pernah suatu kali pada saat Teo melakukan
rutinitas yang sama. Ia hendak mengunjungi Lim di rumah seberang jalan. Namun
tatkala masih berada di depan pintu, ia mendengar pertengkaran hebat.
“Kau sama sekali tidak tahu terimakasih anak
ingusan! Aku menyekolahkanmu disana agar kau bisa melanjukan pekerjaan ayahmu
ini kelak! Tapi apa yang kau perbuat? Nilaimu jelek, tidak ada perkembangan
prestasi di dua semester terakhir. Apa aku harus mengurungmu di rumah agar kau
belajar?!”
“Aku selalu belajar seperti yang ibu minta!”
“Bohong! Pasti anak di seberang jalan itu
yang telah membuatmu seperti ini. Kalian tidak tahu aturan. Hidup kalian akan
hancur jika terus seperti ini. Selalu keluyuran untuk mengahabiskan waktu.”
“Teo tidak seperti itu!
Keluarganya adalah orang baik-baik!”
“Apanya yang baik, kalau bukan karena kita
mereka tidak akan bisa hidup seperti sekarang, bahkan jika bukan karena kita,
ibu temanmu itu pasti sudah mati sejak dulu!”
Teo tidak jadi mengetuk pintu. Niatnya urung.
Perasaannya hancur berkeping-keping. Tak tergambar seperti apa bentuknya. Saat
itu butiran hangat yang pertama tidak sengaja menetes. Bukan karena cengeng, namun lebih berharga daripada itu. Teo
langsung berbalik badan. Memasang langkah cepat ke rumahnya, namun tatkala
sampai di depan pintu, ia menabrak ayahnya yang baru pulang bekerja. Pandangan
mereka bertemu.
Oh tidak! Bukankah seberang jalan itu tidak
terlalu jauh.
Hingga Ayah Teo juga
mendengar hal yang sama.
Teo memberanikan diri menopang wajah. Menatap
ayahnya lamat-lamat.
“Jangan terlalu dipikirkan, Teo.” Itulah
ucapan pertama yang keluar.
Napas Teo sesak. Terpatrikan pengapnya udara
yang hendak dihirup. Ia menunggu kelanjutan dari perkataan orang dewasa itu.
“Kau pasti juga akan beranjak dewasa. Tidak
peduli saat seseorang melakukan hal yang buruk kepadamu, mengatakan hal yang
tidak pantas, atau mengiris perasaan kita hingga terasa amat pedih. Tidak
peduli jika itu adalah sebuah kesalahan yang mungkin saja manusia sehebat
apapun pasti pernah melakukannya. Tapi ingat, sebagai makhluk yang paling mulia
di atas bumi ini, kita tidak perlu menanggapi suatu keburukan dengan hal yang
serupa, atau bahkan bersedih. Cukup dengan mengingat-ingat setiap kebaikan yang
berharga yang telah mereka berikan kepada kita. Maka perasaan teriris itu akan
pulih seketika.”
“Tapi...” Teo hendak berujar. Tidak jadi.
“Dan kita juga harus ingat. Langit tidak
pernah diam dan tidak pernah bisu. Akan ada jawabannya saat kita menyadari
masih ada orang lain yang mendapat ujian yang lebih berat daripada kita.”
Seketika hawa menentramkan muncul. Terasa
begitu hangat. Membuat semuanya tampak jelas tanpa penghalang. Mendatangkan
pikiran jernih yang tak terkira. Teo mengangguk paham.
Saat itulah semua kenangan tersusun sempurna.
Teo tidak lagi melihat dari sisi pertengkaran
itu. Ia mulai melihat semuanya dari setiap sudut yang menggambarkan keadaan
Lim. Orang yang sepertinya tampak selalu bahagia di depannya ternyata
digerogoti permasalahan yang begitu rumit. Semuanya dipaksakan. Tidak ada udara
segar, hanya terhirup pengap. Tidak pula ada mentari hangat, hanya mentari yang
membeku dingin seperti es. Terlebih saat Lim melakukan pembangkangan di dalam
hati itu juga karena membela harga diri ayah dan ibunya. Harga dirinya sendiri
juga. Semuanya benar-benar berat. Menghujam seperi jeruji besi. Berdiri di
antara dua pilihan yang sulit. Akankah langit masih menimpakan dosa kepadanya?
“Kita sudah sampai, bocah. Kau akan mengatakannya sekarang?”
Untuk
yang ketiga kalinya, Teo tersedak kaget. Tapi darimana asalah panggilan “bocah”
itu? Ah, hampir terlupa. Tadi siang di sekolah, Lim ketahuan masih membaca
cerita super hero saat jam istirahat, dan Teo juga ketahuan memasang wallpaper
tokoh kartun di ponselnya. Maka tanpa aba-aba yang berarti, mereka mulai saling
mengejek satu sama lain, bahkan sampai malam ini.
“Ya, kita sudah sampai, tapi kita harus
mencari tempat yang strategis dulu.” Tukas Teo.
“Dimana?”
Seketika Teo melirik sekitar. Ia harus tepat sasaran untuk memilih tempat.
Rencana ini tidak boleh gagal. Sama sekali tidak boleh.
“Disana.” Teo menunjuk sebuah pohon besar.
Disanalah tempatnya.
Sebagai penutup mengenang yang tadinya
sempurna. Teo kembali teringat dengan perketaan Lim saat pulang sekolah. “Besok aku akan segera pindah. Pasti akan banyak hal yang sangat
kurindukan. Sekali lagi. Aku tidak seberuntung dirimu kawan. Aku tidak bisa
menentukan hidupku sendiri. Kau pasti tahu apa maksudku. Namun meski pun aku
mengikuti semua kehendak itu, aku sama sekali tidak tahu sebesar apa dosa yang
kuterima karena pembangkangan di dalam hati ini. Di adalah ibuku, tapi mengapa
aku membencinya? Aku merasa seperti melakukan kesalahan besar. Rasanya menumpuk
di kedua pundakku. Tapi entahlah, terkadang tidak adalagi yang istimewa. Aku
iri dengan kalian yang mempunyai ibu yang mengerti dengan apa yang kalian
inginkan. Kau juga salah satunya kawan. Sedangkan aku? Selalu bersiteru tentang
masalah kebebasan. Tentang pendidikan, bahkan pekerjaanku di masa depan. Aku
tahu ibuku melakukan yang terbaik, tapi mengapa aku merasa tidak ada suatu
keikhlasan pun yang muncul? Aku seperti menyerah, tidak menerima, tidak pula
menolak. Kehidupanku sangat berbeda. Aku merasa bahwa langit tidak pernah
adil.”
Bagian terakhir dari kalimat itulah yang
menjadi salah satu alasan Teo membuat rencana besar ini. Tepat di puncak bukit Jiram. Dia akan mengatakan hal itu.
Hal yang menjadi jawaban dari sebuah pernyataan. Bukan pertanyaan. Ia
menyadarkan Lim atas semua pembangkangan di dalam hati yang ia lakukan. Ia
mengatakan bahwa yang dilakukan Lim adalah salah. Tidak pantas seorang anak
berbuat seperti itu kepada orang tuanya. Tapi harus dimulai darimana? Teo
mengehala napas.
“Jadi apa?” Ah, Lim benar-benar penasaran.
“Baiklah. Apa kau tahu kenapa langit
diciptakan tanpa tiang?” Teo berujar sambil menatap bintang gemintang di atas
langit. Tangan melipat di dada.
“Maksudmu?” tanya Lim lagi.
“Jawab saja.” Teo menimpal cepat.
Lim berpikir sejenak. Sebenarnya tidak
terlalu mengerti. Tapi ia mungkin bisa menjawabnya berdasarkan apa yang telah
ia pelajari. Paling tidak satu tahun sebelumnya ia selalu mendapat peringkat
satu di kelas.
“Langit memang tidak memiliki tiang bukan?
Langit adalah bagian atas dari permukaan bumi, dan digolongkan sebagai lapisan
tersendiri yang di sebut atmosfer. Langit terdiri dari banyak gas dan udara,
dengan komposisi berbeda di tiap lapisannya. Langit sering terlihat berwarna
biru, di sebabkan karena pemantulan cahaya, tetapi tidak tertutup kemungkinan
bahwa langit bisa berubah warna dalam kondisi tertentu. Misalnya ketika senja,
atau hitam saat turun hujan[1]
dan di malam hari seperti sekarang.” Lim mengakhiri kalimatnya dengan penegasan
yang mantap. Nilai IPA-nya juga memang
selalu tertinggi di kelas.
Teo tersenyum bangga. “Kau memang yang
terbaik, Lim.” Diam sejenak. “Lalu bagaimana menurutmu tentang dua buah benda
raksasa yang ada di langit. Matahari dan bulan. Apakah cahaya yang mereka
pancarkan ke permukaan bumi merupakan suatu keadilan?”
Lim menggeleng-gelengkan kepala. Tidak
mengerti.
“Aku tidak akan menanyakan lagi pelajaran di
sekolah.” Teo berujar sembari melangkah menjauh. Lalu menoleh pada Lim. “Aku
hanya ingin menanyakan tentang sebuah kesalahan yang telah kau lakukan.”
Lim tersedak kaget. Raut mukanya berubah
pucat pasi. Entah angin
macam apa yang tiba-tiba mengubah alur pembicaraan seperti ini. Seperti sudah
tergambar dengan jelas apa yang akan terjadi. Lim mulai gemetar.
Teo melirik sekitar,
lalu kembali angkat bicara.
“Aku tahu kau tidak seberuntung diriku dalam
hal kebebasan. Aku tahu kau tidak memiliki ibu seperti kami. Bahkan aku juga
tahu, bahwa masalah yang kau hadapi dan beban pikiran yang harus kau emban sama
sekali berbeda jauh dari kami, terlebih diriku.”
Lim menelan ludah.
Teo melanjutkan. “Namun sering kali banyak
timbul pertanyaan di kepalaku, Lim. Apa alasanmu untuk berwajah tebal di depan
kami saat berada di sekolah? Di depanku? Kenapa tak sedikit pun
kau mau membagi pikulan yang teramat berat itu? Aku mengerti betapa sesak
setiap helaan napas yang kau hirup. Tapi haruskah suatu kebencian tertanam di
dalam dirimu sendiri? Kepada ibumu? Bahkan kau menganggap bahwa itu adalah hal
yang biasa. Sudah lama aku ingin mengatakan kebenaran ini, tapi hanya ini saat
yang tepat. Ingatlah dan renungkanlah dengan baik. Aku pernah merasakan
bagaimana perasaan itu hancur karena mendengar perkataan ibumu. Tapi aku
berusaha untuk berpikir lebih jernih. Yang dilakukan ibumu adalah suatu
kebaikan. Benarlah jika itu membuatmu terpaksa. Tapi haruskah dengan suatu
pembangkangan di dalam hati?”
Sekali lagi. Lim menelan ludah.
Kerongkongannya seakan kering kerontang tak berair. Ia tak pernah terpikirkan
sebelumnya.
“Kau pikir aku akan diam karena kau adalah
sahabat baikku? Tidak. Aku menjadi sahabatmu bukanlah karena sekedar bantuan
dari ibumu yang telah memperbaiki kehidupanku. Tapi karena dirimu. Wajah redup
yang selalu kau sembunyikan dapat dengan baik menarik perhatianku, hingga aku
tahu, bahwa kau membutuhkan seseorang.” Teo menghela napas. Lalu melanjutkan
lagi. “Tahukah kau, Lim. Ada hal yang sangat kutakutkan yang apabila aku masih
berdiam tanpa suara, aku malah membiarkanmu semakin terpuruk dalam kesalahan
besar itu. Kau mengikuti semua kemauan ibumu dengan separuh hati yang tak rela.
Sedangkan separuh hati yang lain kau buang jauh-jauh. Apakah itu pantas? Apakah
itu layak kau lakukan pada ibumu sendiri? Apakah itu yang perbuat pada
seseorang yang telah bertaruh nyawa demi hidupmu?!
“Kau iri dengan kehidupanku yang serba
kekurangan, namun bahagia dalam kebebasan. Tapi kau tak harus membuat hatimu
menanamkan sebuah kebencian dengan begitu subur. Percayakah kau bahwa yang
sebenarnya dilihat ibumu setiap kepulanganmu hanyalah sebuah boneka kosong tak
bernyawa. Kau tidak lagi menghargai ibumu, sedangkan ibumu tidak tahu kau sudah
membangkang di dalam hati.”
“Ibuku pasti tahu!” tiba-tiba Lim memotong.
Suaranya parau.
“Tidak! Ibumu tidak pernah tahu. Ia terlalu
sibuk dengan pekerjaan dan mengurus masa depanmu. Ia hanya menganggap kau
seperti anak kecil yang masih belum tahu apa-apa. Tapi aku sangat percaya bahwa
kau bukanlah anak kecil lagi. Pembangkangan di dalam hati yang kau lakukan akan
tercatat di atas langit tak bertiang. Tak bisa kau panjat meski kau ingin
sekali mengahapusnya.”
Lim terpojok! Ia terdiam.
“Terlebih tubuhku semakin bergetar saat kau
berujar langit tidak pernah adil. Membiarkanmu terkekang dalam setiap keadaan.
Menghirup pengap. Membeku kedinginan. Namun membiarkan kami dalam keadaan
keluarga yang hangat dan menentramkan. Apa kau pikir aku lupa dengan perkataan
itu? Kau berujar ringan. Padahal dimulutku hal itu terasa sangat berat.
Perhatikanlah matahari, meskipun berlipat-lipat lebih besar dari bulan, ia
tetap tidak bisa menerangi setiap inci dari belahan bumi. Meskipun demikian,
keadilan akan tetap ada saat bulan muncul untuk menggenapi tugas matahari.
Tidak ada yang tidak mendapatkan cahaya, terlebih saat bintang gemintang
bermunculan. Kemudian memberikan keindahan tersendiri bagi langit malam
dibandingkan langit siang. Semuanya selalu berada dalam keadilan. Benar-benar
teramat salah jika kau mengatakan hal yang bagiku menyesakkan seperti itu.
Kumohon. Panggillah separuh hatimu yang lain yang telah kau buang teramat jauh
itu. Biarkan kepekaan langit kembali kau rasakan. Agar kau tidak selamanya
berada dalam kesalahan terbesar itu. Kumohon Lim, ikhlaslah terhadap ibumu, dan
kembalilah pada langit agar sepotong hati itu kembali utuh dengan sempurna.
Benar-benar utuh hingga wajah redup itu menjadi cerah, hingga pembangkangan itu
menghilang, dan hingga kau bisa lagi merasakan kehangatan kawan.”
Angin berhembus lebih pelan. Membiarkan
semuanya terlepas dan berlalu apa adanya. Teo kehabisan kata-kata. Sekarang ia
baru saja menepati janji itu. Mengatakan suatu hal yang besar pada sahabatnya,
Lim. Sedangkan Lim sendiri masih terkesima. Baru sadar akan kesalahan besar
yang telah ia perbuat.
Satu butiran hangat menetes. Pelan.
Teo mengangkat tangan menghadap ke
semak-semak.
Dan...
“Kejutan!!!”
Segerombolan teman-teman yang sebaya dengan
mereka tiba-tiba keluar dari semak-semak itu. Mereka meletupkan pistol mainan
yang berisi pita halur berwarna-warni. Juga sebuah kue dengan lilin berbentuk
akang tujuhbelas tahun, ditambah dengan sebentangan kain biru polos yang
bertuliskan HAPPY BIRTHDAY LIM!
Kemudian semuanya serempak menuju ke arah Lim
yang tak tahu harus berbuat apa. Ia benar-benar bingung. Teramat malah. Namun
ada satu hal yang bisa ia mengerti dari semua kejadian malam ini. Ternyata Teo
sudah merencanakan semuanya dengan sangat baik. Mengerjainya. Membawa banyak
cemilan yang ternyata juga untuk semuanya, bahkan dikejar anjing? Ah, semuanya
benar-benar kebohongan yang diluar dugaan. Namun tidak semuanya pula berupa
kebohongan. Semua yang dikatakan Teo tentang sesuatu yang besar itu adalah
benar. Tak luput satu hal pun yang ia lupa.
Lim menatap menatap Teo di antara kerumunan.
Ingin sekali ia tersenyum bahagia
dibandingkan yang lain. Ia hanya mendapati Teo juga tersenyum kepadanya.
Mengacungkan Jempol. Berusaha untuk tetap ada dalam keramaian.
Sekarang Teo terlalu sibuk menanggapi semua
teman-teman yang menanyakan tentang kepindahannya, atau kesibukan untuk
menghadapi mereka yang mulai melempar krim kue satu sama lain.
Selang waktu berdetik. Seketika kesadaran itu
memenuhi setiap celah dari rongga tubuhnya. Seakan-akan Lim bisa mendapatkan
kembali separuh hati yang telah ia buang dulu. Ia juga mulai merasakan
kehangatan yang tak terkira. Dan tatkala ia hendak mengajak Teo bergabung dalam
keramaian dan sesak, ternyata Teo sudah terlebih dahulu menghujam kepalanya
dengan krim kue.
Mereka tertawa.
Mereka bahagia.
Entah dimana lagi bisa mendapati seorang
sahabat seperti Teo, Lim hanya bisa berujar bangga di dalam hati. Berucap
terimakasih yang tak terkira kepada langit yang telah mendatangkannya seorang
sahabat. Tidak, seharusnya lebih dari seorang sahabat. Benar-benar lebih
berharga daripada itu. Meski tidak bisa mengatakannya langsung, kebahagiaan
yang terpancar di wajahnya itu saja sudah bisa menyampaikannya lebih dulu.
Menyampaikannya kepada langit, lalu mengatakannya pada Teo.
“Terimakasih kawan. Kau benar atas hal besar
yang telah kau katakan. Sekarang aku sudah ikhlas. Sepenuhnya dari hatiku akan
ada untuk ibuku. Kepindahan kali ini pasti juga akan sangat berbeda saat aku
mulai percaya bahwa langit selalu adil kepadaku. Terimakasih kawan. Kau telah
mengeluarkanku dari kesalahan yang teramat besar itu. Aku pasti akan sangat
merindukan, dan takkan pernah lupa bahwa kau adalah sahabat terbaikku.”
Maka pada
saat itu pula, seorang malaikat yang sudah lama bernaung di bumi segera naik ke
atas langit. Memperlihatkan catatan dosa dari
seorang anak manusia yang telah kembali kepada cahaya-Nya. Kemudian catatan itu
diizinkan untuk dihapus, dan malaikat itu pun tersenyum.
***
Comments
Post a Comment