SEBUAH LAYANGAN
LAYANGAN
ITU TERBANG
KARENA
MELAWAN ARUS
KARENA
MELAWAN ARUS
Namaku Ghani aku berasal dari
Padang. Satu tahun yang lalu aku mendapatkan beasiswa berprestasi dari
pemerintah untuk melanjutkan pendidikanku di sekolah yang cukup bergengsi di
kota Bandung ini. Aku menduduki kelas sebelas dan sedang berada di semester dua
sekarang. lima hari yang lalu adalah hari yang cukup mendebarkan bagiku untuk
mencalonkan diri sebagai ketua osis dan telah mengikuti seleksi serta kampanye,
dan hasilnya akan keluar sekarang.
Aku terus berjalan menyusuri
koridor sekolah menuju papan pengumuman. Di sana tampak beberapa orang saling
berdesakan untuk berebut informasi. Saat aku sampai di sana, semua orang melihat
ke arahku dan saling berbisik satu sama lain. Aku mengenal salah seorang di
antara mereka, yaitu anak laki-laki yang tengah tersenyum dan mengacungkan
jempol kepadaku. Ia adalah sahabatku, Faras. Sesaat setelah aku melangkah
mendekat, ia kemudian berkata.
“Selamat, ternyata sahabatku
diangkat sebagai ketua osis.”
Aku sangat kaget dan benar-benar
tidak percaya. Ini adalah keinginanku sejak aku masih kelas sepuluh satu tahun
yang lalu. Hatiku selalu berdebar menunggu setiap kesempatan yang akan menjadi
milikku.
Mereka yang tadinya berdiri
berdesak-desakan di depan mading sekolah, sekarang beranjak dan memberikan
jalan untukku. Hingga pada saat kedua bola mataku menatap informasi terbaru
itu, serasa tubuhku tak kuat menahan rasa bahagia yang seakan meluap-luap ingin
keluar. Kedua telapak tanganku mendekap ke permukaan kaca mading. Kemudian, kutatap
lamat-lamat apa yang sebenarnya terpampang di sana.
...GHANI
TERPILIH MENJADI KETUA OSIS YANG BARU....
DAN
PELANTIKAN AKAN DIADAKAN HARI PADA HARI SENIN SEWAKTU UPACARA BENDERA
Pada saat aku kembali
membalikkan badan, sekali lagi, Faras memberikan ucapan selamatnya kepadaku. ia
adalah orang yang sangat mengenal betapa aku ingin sekali mendapatkan
kesempatan menjadi ketua Osis. Dengan kesempatan itu, aku yang datang dari jauh
memiliki banyak waktu untuk mengenal semua teman-teman yang ada di sini.
Bersosialisasi dalam setiap pertemuan organisasi, mendapatkan teman baru,
memperluas pandangan hidup, bahkan dengan semua ini, tentu aku akan mendapatkan
hal yang sangat berbeda nantinya. Tidak hanya karena kesempatan, tapi karena
memang keinginanku yang berharap bisa membantu dan sering bersosialisasi dengan
orang lain.
Setelah pelantikan jabatan dua
hari setelahnya, aku mulai merasakan seperti apa rasanya menjadi orang yang
cukup sibuk. Hampir setiap hari aku
memiliki kegiatan yang cukup menyita banyak waktu. Beberapa diantaranya ada
yang satu hari penuh dihabiskan untuk mengisi agenda rapat tahunan Osis, dan
ada pula diantara kegiatan itu adalah sering menghadiri acara-acara yang diadakan
sekolah serta organisasi-organisasi lainnya.
Sekolah di mana aku belajar
sekarang, juga memiliki fasilitas asrama yang mendukung untuk proses
pembelajaran dan membentuk kepribadian yang baik. Aku juga memiliki hubungan
yang cukup dekat dengan beberapa orang pembina asrama, salah satunya adalah
ustad Furqan. Ia adalah orang yang memberikan aku inspirasi beta pentingnya
kita harus menyebarkan ukhuwah islamiyah di negeri yang mayoritas beragama
Islam ini.
Pelajaran hari ini berakhir
dengan bunyi bel terakhir yang terdengar dari meja piket. Seperti biasanya, aku
kembali ke asrama bersama sahabat karibku Faras. Pada saat kami berjalan
melintasi halaman depan asrama, secara tidak sengaja, kami berpapasan dengan
ustad Furqan yang terlihat tengah kerepotan membawa banyak buku dengan kedua
lengannya.
Aku menyapa ustad Furqan dengan
rasa hormat.
“Assalamu’alaikum, ustad!”
“Wa’alaikumsalam.”
Jawabnya. Karena tidak terlalu memperhatikan jalan. Hampir saja ustad Furqan
terandung, meskipun beberapa buku bawaannya telah terjatuh.
Kami
berdua segera menolongnya. Dengan sedikit basa-basi ustad Furqan pun mengajak
kami berbicara. Terutama denganku yang baru saja beberapa hari yang lalu
dilantik sebagai ketua Osis yang tak diduga berasal warga asrama.
“Bagaimana
rasanya menjadi orang penting, Ghani?” tanya ustad Furqan.
“Alhamdulillah,
rasanya seperti berada di antara orang-orang yang begitu menghargai kita
ustad.” Jawabku seraya mengambilkan sebuah buku yang terjatuh agak jauh.
“Lalu
bagaimana denganmu Faras? Bagaimana memiliki sahabat seperti Ghani?”
“Tentu
saja merasa bangga ustad. Kami sama-sama berasal dari tanah sumatera, tentu hal
ini menjadi hal yang mendapat nilai lebih di daerah rantau.”
Setelah
semua buku kembali terkumpul, kami bertiga bangkit sambil membersihkan telapak
tangan yang terkena butiran pasir. Ustad Furqan tiba-tiba memegang bahuku dan
tersenyum dengan puas karena hal yang memang sangat membanggakan.
“Tapi
ingat Ghani, sekarang kamu tengah memegang amanah dari banyak orang. Jangan
sia-siakan kesempatan yang telah lama kamu impikan ini. Akan tetapi, jangan
sampai semua hal ini menjadi mimpi buruk yang akan akan membuat Ghani terjatuh
nantinya. Ingat, Allah juga memerintahkan kita untuk senantiasa beribadah
kepadanya, salah satunya dengan mendirikan shalat, dan Allah juga menyuruh kita
untuk berhubungan baik dengan setiap makhluk, terutama dengan sesama. Itu semua
dikiaskan dengan kewajiban kita untuk membayar zakat, yang sangat bermanfaat
bagi orang lain.”
Kedewasaan
ustad Furqan membuat kami berdua ternganga tanpa sadar. Semua yang ia katakan
benar adanya, dan aku pun merasa sangat senang ketika dapat menjalankan
diantara dua tugas yang mulia itu.
Aku
menatap ustad Furqan dengan penuh percaya diri, kemudian mengatakan.
“Benar
Ustad, mudah-mudahan Ghani bisa menjaga amanah ini dengan baik.”
“Tentu,
Ghani.”
Sesaat
setelah saling menatap satu sama lain. Secara bergantian, aku dan Faras
menyalami punggung tangan ustad Furqan. Kemudian berlalu kembali pulang ke
asrama.
Paginya
di hari selasa, aku meminta izin kepada guru yang tengah mengajar di kelasku
untuk mengadakan rapat yang tidak bisa lagi di tunda. Rapat yang kan segera
diadakan ini akan membahas tentang penghidupan kembali segala ekstrakulikuler
yang ada di sekolah, bahkan juga membahas cara untuk menghidupkan kembali semua
organisasi di sekolah ini. Karena aku tahu, sebelumnya, sekolah ini terkenal
dengan berbagai kegiatan ekstrakulikuler dan organisasi-organisasinya.
Saat
aku memasuki ruangan rapat, semua orang memberikan sambutan yang cukup hangat padaku.
Di dalam ruangan itu juga sudah hadir pembina Osis yang tentunya akan
memeperlancar pembahasan rapat kali ini.
Rapat
pun dimulai dengan keadaan yang cukup serius. Beberapaorang berusaha untuk
menyampaikan berbagai gagasan, dan sebagiannya lagi berembuk satu sama lain
sebelum mengutarakan pendapat mereka. Bapak pembina Osis juga menyampaikan
pedoman-pedoman yang dapat diambil dari tahun-tahun belakangan. Bahkan, tanpa
disengaja ia mengakui sendiri bahwa dua tahun terakhir, banyak hal telah
meredup dari sekolah kami ini. Untuk itu, ia sangat berharap kepada kami agar
dapat menghidupkan semua hal yang sangat dirindukan itu.
Rapat
terus berjalan sesuai dengan alur. Sudah banyak pendapat-pendapat yang
disampaikan dengan ide yang sangat cemerlang. Seperti mendatangkan pelatih dari
luar daerah untuk organisasi pencak silat. Mengusulkan keperluan dana yang
dibutuhkan oleh organisasi Drum band sekolah untuk membeli alat-alat baru. Dan
masih banyak yang lainnya. Bahkan, salah seorang teman juga mengusulkan untuk
mengadakan suatu kegiatan keagamaan minimal satu kali satu bulan, yang nantinya
akan membawa dampak positif bagi pergaulan teman-teman di sekolah.
Hampir
satu setengah jam berlalu, dan rapat pun usai dengan hasil yang sangat
memuaskan. Setiap anggota Osis pun sudah mendapat jatah pekerjaan mereka
masing-masing.
Aku
bergegas kembali ke dalam kelas pada mata pelajaran kedua hari ini. Aku masuk
tepat pada waktu guru bidang studi yang berkaitan masuk. Dengan cepat aku
kembali ke tempat duduk dan menatap lurus memperhatikan ke depan.
Guru
itu tampak mengeluarkan tumpukan kertas dari dalam tasnya. Tanpa menunggu waktu
lama, kami semua sudah menebak dengan baik apa yang kan ia katakan. Kemarin
kami baru selesai mengadakan ulangan harian untuk mata pelajaran Matematika.
Dengan
raut wajah yang selalu terlihat tenang, guru tersebut mulai berbicara seraya
memegang sekumpulan lembaran jawaban yang telah kami buat.
“Seperti
ananda semua ketahui, kemarin kita baru saja mengadakan ulangan harian kedua di
akhir semester dua ini. Dan Bapak juga sudah selesai mengoreksi dan menilai
semua jawaban kalian. Tidak ada yang terlalu buruk, semuanya hampir mencapai
nilai sempurna.” Ia kemudian memperhatikan lembaran pertama jawaban itu. Dan
memanggil nama teman-teman secara bergantian.
“Naufal.
Silahkan ambil lembaran jawabnya ke depan.”
Naufal
pun bergegas ke depan, dan langsung mengacungkan senyumannya sesaat setelah
melihat nilainya.
“Selanjutnya
Rizky.... Ahmad... Rudy.... Ridawan.... Taufik....”
Secara
bergiliran, semua teman-teman juga bergegas ke depan saat nama mereka
dipanggil, dan hal yang sama juga terus terjadi. Mereka semua merasa sangat
senang dengan perolehan nilai yang mereka dapatkan, bahkan pada saat aku
menanyakan pada Faras yang duduk di sampingku tentang nilainya, Faras langsung
mengangkat lembar jawabn itu, dan disana tertera angka seratus yang sangat
membanggakan.
“Selanjutnya,
Ghani. Silahkan maju ke depan.”
Bapak
guru memasang wajah yang agak berbeda saat memanggil namaku. Sesaat jantungku
berdegup kencang saat melangkah ke depan. Bahkan sebelum sampai pun, sudah
terasa hawa yang sangat berbeda. Sejujurnya aku tidak terlalu cemas dengan
setiap ulangan harian yang diadakan, karena hampir setiap mata pelajaran aku
dapat menguasai materinya dengan baik. Namun tidak lagi dengan apa yang kulihat
sekarang. aku benar-benar tidak percaya ini bisa terjadi. Seseorang dari tanah
sumatera yang mendapat beasiswa berprestasi untuk bersekolah di Bandung, baru
saja mendapat nilai 50 untuk ulangan Matematika di akhir semester dua.
Aku
kembali ke tempat duduk dengan langkah gontai yang meraskan bumi seperti
berguncang. Mataku tidak bisa terlepas dari nilai yang terpampang pada lembar
jawabanku itu. Bahkan, aku tidak mampu memperlihatkan lembar jawabanku pada
saat Faras memintaku untuk memberitahunya berapa nilai yang kuperoleh.
Begitu
pun dengan dua mata pelajaran terakhir. Pada saat buku latihan kami
dikembalikan, aku kembali dikagetkan dengan perolehan nilai yang tiba-tiba
anjlok seperti ini. Aku benar-benar tidak berani menatap wajah Faras dan
teman-teman yang lainnya yang mendapat nilai sempurna. Mereka bersorak-sorak
kegirangan dengan apa yang mereka peroleh. Sedangkan, bumi yang seakan
berguncang hebat, hanya aku sendiri yang bisa merasakannya.
Bel
tanda berakhirnya pelajaran pelajaran ini pun berbunyi.
Untuk
kali ini, aku lebih memilih kembali ke asrama yang tidak jauh dari lingkungan
sekolah sendiri. Aku menolak ajakan Faras yang berencana untuk mentraktir
teman-teman karena hal yang sangat membanggakan yang mereka dapatkan hari ini.
Setelah
sampai di asarama, aku pun segera masuk ke dalam kamar. Kemudian membuka lemari
dengan banyak perhitungan. Aku mengambil sisa uang bulanan yang kuperoleh satu
minggu yang lalu. Kemudian terduduk diam atas meja belajar tentang apa yang
akan kurencankan. Dalam setiap detik yang berlalu, aku terus menimang-nimang
apakah aku akan mendaftar bimbingan belajar di luar lingkungan sekolah atau
tidak. Ini semua kulakukan karena nilai-nilaiku yang tiba-tiba saja anjlok. Dan
terus melayang-layang di pikiranku sekarang.
Sepuluh
menit pun berlalu, akhirnya aku menetapkan pilihan untuk mengambil solusi ini
meskipun uang bulananku akan terkuras habis. Aku tidak berani menyampaikan hal
ini pada kepada orangtuaku, oleh karena itu, aku lebih memilih diam dan berusaha
untuk segera keluar dari masalah ini secepatnya.
Pada
hari Rabu sepulang sekolah. Aku segera pergi ke tempat bimbingan belajar yang
dulunya pernah disarankan oleh temanku. Setibanya di sana, aku disambut oleh seorang
laki-laki dengan senyum mengambang. Kemudian, ia menjelaskan bagaimana
sistematika proses bimbingan belajar di sini. Di samping itu, aku bisa memulai
dari besok pada hari kamis dan selasa sore. Terakhir, tanpa banyak basa-basi
lagi, aku segera mengisi formulir pendafataran yang ia berikan lalu membayar
untuk dua bulan pertama. Dan tepat sebelum jam lima sore, aku sudah kembali ke
asrama dengan perasaan sedikit lega.
***
Hari
demi hari terus berlalu dan minggu pun terus berganti. Semenjak pulang sekolah
tadi aku langsung menuju tempat bimbingan belajar. Hari ini yang mengajarku
adalah seorang mahasiswa berkacamata yang berperawakan agak pendiam. Aku sangat
antusias mengikuti setiap penjelasannya. Begitu pun dengan anak-anak dari
sekolah lain, mereka seperti tidak ingin kehilangan sedikit pun kehilangan
waktu mereka, dan aku merasa cukup beruntung juga bisa belajar disini.
Dua
minggu terakhir, perolehan nilai dari beberapa latihanku juga sudah mulai
membaik, kecuali Matematika. Aku sama sekali tidak tahu apa uang terjadi,
padahal mata pelajaran yang satu itu adalah mata pelajaran yang paling kusukai
sewaktu kelas sepuluh. Namun sekarang, hal itu sudah tidak berlaku lagi.
Nilaiku sudah merosot sangat jauh. Dan aku masih belum berani memperlihatkan
nilai itu pada Faras.
Untuk
kali ini, aku kembali ke asrama agak terlambat dari biasanya. Matahari sudah
tenggelam satu setengah jam yang lalu, bahkan aku terpaksa harus melaksanakan
Shalat maghrib di dalam angkutan kota karena masih berada di perjalanan.
Malam
ini aku tidak bisa mengikuti kegiatan asrama yang selalu diadakan setelah
shalat Maghrib sepenuhnya. Jadi aku langsung kembali ke kamar, namun di depan
pintu kamarku sudah berdiri ustad Furqan dengan raut wajah yang tampak merah
padam. Sembari menatap ke arahku, ia pun bertanya.
“Dari
mana kamu?”
Tatapan
itu seakan membuatku gelagapan untuk menjawab. Ustad Furqan sepertinya marah
padaku. Lalu, dengan keberanian yang masih kupertanggungjawabkan, aku menjawab.
“Dari
tempat bimbingan belajar, ustad.”
“Kenapa
terlambat?” tambahnya lagi.
“Ee...
dari tempat bimbingan belajar, ustad.” Aku menjawab terbata-bata.
“Kenapa
terlambat? Apa kamu tidak tahu aturan asrama?” suara ustad Furqan terdengar
lebih keras dari sebelumnya.
“Maaf,
ustad. Saat saya hendak pulang ke sini, hampir semua angkutan kota yang menuju
kemari penuh, dan terpaksa saya harus menunggu mobil terakhir.”
“Apa
itu benar?”
“Benar,
ustad. Bahkan untuk mobil yang terakhir pun saya harus berdesak0desakan dengan
penumpang yang lain.”
Raut
wajah ustad Furqan mulai kembali seperti semula. aku mengenalnya dengan sangat
baik. Ustad Furqan tidak akan mau memarahi seseorang tanpa alasan yang jelas.
Ia cukup di pandang di lingkungan asrama ini, dan ia juga dikenal dekat para
warga asrama. Namun, hal yang sangat kusesalkan adalah, aku terpaksa harus
berbohong kepadanya malam ini. Alasan mengapa aku terlambat bukanlah karena
angkutan kota yang penuh, tapi ada hal lain yang lebih dari pada itu.
Ustad
Furqan merangkul pundakku seraya berkata.
“Maafkan
ustad yang terlalu cepat menilaimu dengan pendapat yang mulai memburuk. Tapi
ustad percaya pada Ghani, bahwa Ghani adalah orang dapat ustad percaya. Dan
ustad harap, Ghani tidak melakukan kesalahan ini lagi.”
Malam
itu berlalu dengan perasaan bersalah yang serasa meluap-luap dari dalam. Aku
benar-benar menyesal telah membohongi ustad Furqan. Berbaring di atas tempat
tidur dengan mata yang tidak bisa dikatupkan semakin membuatku resah. Namun
dengan keadaan tubuh yang terasa sangat letih, aku pun tertidur pulas.
***
Pada
hari kamis sepulang sekolah, seperti biasa aku langsung bergegas pergi ke
tempat bimbingan belajar. Karena semua angota Osis bekerja dengan baik, aku pun
berpamitan lebih awal kepada setiap anggota agar mempunyai waktu yang cukup
untuk belajar nantinya.
Hari
ini kami belajar Matematika. Kesempatan yang selalu kutunggu-tunggu disetiap
minggunya. Aku benar-benar tidak ingin mendapatkan nilai yang mengecewakan
lagi. Meskipun aku harus sangat berhemat dengan uang bulanan, aku tidak cemas.
Menjaga kepercayaan orang lain adalah hal yang paling utama bagiku.
Pemerintah
yang memberikanku beasiswa untuk melanjutkan pendidikan di kota Bandung ini
adalah, karena aku dianggap sebagai anak yang bisa diandalkan. Berprestasi
mengagumkan di sekolah, dan berkepribadian yang baik. Semua itulah yang harus
kupertahankan sebisa mungkin, aku tidak akan mundur meskipun beberapa nilaiku
sering anjlok di semester ini. Dan aku juga tidak boleh mengecewakan kedua
orang tuaku yang sedang menunggu kabar baikku di rumah. Aku harus membuat
mereka bahagia.
Seperti
hari yang sebelumnya, aku sangat antusias mengikuti setiap materi yang
disampaikan. Bahkan, pada saat jam belajar sudah habis, aku meminta kepada guru
yang mengajar untuk memberikanku beberapa contoh soal lagi hingga aku tidak
sadar, ternyata azan Maghrib telah berkumandang.
Secepat
mungkin, ingatanku kembali memutar hal yang terjadi dua hari yang lalu.
Kejadian dimana hampir saja ustad Furqan memarahiku karena pulang terlambat,
dan tidak mengikuti kegiatan asrama. Jujur, aku benar-benar lupa dengan janjiku
sebelumnya yang tidak akan pulang terlambat lagi. Perhatianku teralihkan oleh azzamku yang terlalu besar untuk belajar.
Setelah
shalat Maghirb di disana dan mengerjakan Shalat Isya di dalam angkutan umum di
tengah perjalanan, akhirnya aku sampai di asrama. Kedua kakiku teresa enggan
untuk melangkah masuk ke kamar, seperti akan ada yang terjadi di dalam. Dan
ternyata benar! saat aku melangkah
masuk, tanpa diduga ustad Furqan tiba-tiba ada di dalam kamarku.
Ia
menatapku dengan penuh rasa amarah. Wajahnya terkesan sangat kecewa kepada
orang yang telah melanggar janji dan tidak dapat di percaya ini.
“Apa
lagi yang membuatmu terlambat, Ghani?!” tanya ustad Furqan yang segera bangkit
mendekatiku. Ia tampak kesulitan menahan amarah yang sangat meluap-luap.
Tidak
sedikit pun aku berani menatap wajah pembina asramaku ini. apalagi harus
menjawab pertanyaannya yang seakan menusuk itu. Aku merasa sangat bersalah,
tapi apakah semua yang telah kuperbuat
ini adalah sepenuhnya kesalahanku?
“Jika
kamu seorang muslim yang beriman. Pasti kamu mampu menjawab pertanyaan semudah
itu, Ghani. Atau kamu sedang memikirkan alsan yang tepat untuk membela diri?
Ustad benar-benar tidak menyangka, anak didik yang selama ini ustad banggakan
telah berbuat seperti ini.” kata ustad lagi.
“Tidak
ustad!” tanpa sadar aku menjawab setengah berteriak padanya. Aku tidak sangup
lagi menahan semua tekanan dan penilaian yang salah ini. “Sedikit pun saya
tidak pernah berniat untuk melanggar janji saya pada ustad, dan saya juga bukan
seorang pembohong yang pandai mempermainkan kata ustad.”
“Jika
tidak. Jawab pertanyaan itu!” bentak ustad.
Setetes
airmataku mengalir ke pipi. Aku terus bertanya-tanya, kenapa ustad Furqan
begitu marahnya padaku. Tapi, untuk sekarang, aku akan menjawab dengan jujur. Bahwa aku bukanlah seperti yang
ustad pikirkan.
“Saya
mempunyai alasan yang bukanlah sebuah kebohongan, ustad.” Aku berbicara dengan
kepala menunduk lalu mendongak ke menatap wajahnya. “satu bulan yang lalu, saya
mendapatkan nilai yang memalukan dari sebuah ulangan harian, dan tanpa saya
duga sedikit pun, ternyata hal yang sama juga terjadi pada pelajaran yang
lainnya. Untuk itu, saya memantapkan hati untuk mengikuti bimbingan belajar
ini, agar saya bisa memperbaiki nilai saya nantinya. Ustad Furqan sendiri juga
tahu, saya bisa bersekolah disini karena beasiswa yang diberikan oleh
pemerintah. Dan saya memegang dengan erat kepercayaan yang telah diberikan itu,
ustad.”
“Apa
kesempatan menjadi ketua Osis dan menjalani banyak kesibukan yang membuatmu
seperti ini?”
Mendadak
ustad Furqan memotong penjelasanku. Namun dari pertanyaan yang baru saja ia
ajukan, aku merasa disadarkan dengan hempasan yang begitu keras. Ketua Osis?
kesibukan? Tidak pernah terpikir sebelumnya olehku. Aku sama sekali tidak
menyadari hal yang terlihat begitu jelas yang selama ini secara perlahan telah
mengubahku sangat jauh. Sekali lagi, pertanyaan ustad Furqan benar-benar
meresap ke setiap indra yang kumiliki. Bahkan, ada hal yang serasa menusuk di
selubung hati kecil ini. aku tidak sadar, aku benar-benar tidak sadar akan
semua hal itu.
Semua
izin yang kuambil sewaktu belajar untuk menghadiri rapat. Semua waktu yang
kuhabiskan untuk bekerjasama dengan teman-teman demi mengembalikan cahaya
sekolah ini. semua kesempatan belajar di
malam hari yang hanya kuhabiskan untuk memikirkan bagaimana caranya untuk...
untuk...
Aku
tidak mampu lagi menhan beban yang tersa semakin berat ini. kepalaku terasa
sangat berat, air mataku terus menetes tanpa henti. Namun, pada saat aku hendak
menghantam dinding kamar karena merasa frustasi, tiba-tiba saja ustad Furqan
memegang pundakku dari belakang. Kemudian ia berusaha untuk menenangkanku dan
membaringkanku di atas tempat tidur, sedangkan ia sendiri duduk di sebelah
tempat tidur.
“Ghani,
ustad tahu apa yang tengah Ghani rasakan. Bagaimana beban pikiran yang semakin
menumpuk sangat berat. Bagaimana kesadaran Ghani yang datang terlambat akan
semua ini. Bahkan, bagaimana semua rasa ketidakpercayaan Ghani terhadap apa yang telah terjadi hingga
membuat Ghani terpuruk seperti ini. Tapi berusaha lah untuk tetap tenang,
beristigfar dan kembali mengingat Allah, kita serahkan semua kepada-Nya.”
Mulutku
tidak mampu mengatakan apa-apa lagi. Kenapa aku tidak bisa membagi waktuku
dengan baik tanpa harus rugi untuk hal yang lain? Kenapa selama ini aku tidak
pernah sadar, bahwa aku telah berubah dan terpuruk sangat jauh?
Untuk
yang pertama kalinya. Malam ini aku menyadari, betapa seseorang begitu peduli
denganku. Ia tidak terlalu mengagung-agungkan apa yang telah aku dapatkan,
malahan ia memberikan nasehat agar aku berhati-hati dalam kesempatan ini. Aku
merasa tidak percaya, pada saat ustad Furqan menunggu kedatanganku yang datang
terlambat, kemudian memarahiku namun mengurungkan niat. Itu semua ia lakukan karena mengetahui
bagaimana kedaanku saat ini. Sedangkan aku sendiri tidak menyadari seperti apa
diriku yang sekarang, yang telah teralihkan dengan berbagai kegiatan yang
menyibukkan?
Detik
ini, aku sangat beruntung masih ada orang yang mau memperhatikanku. Sampai-sampi
aku tidak sadar bahwa aku telah terlelap tidur dan ustad Furqan beranjak
meninggalkan kamar.
***
Keesokan harinya, jam sembilan
pagi di hari Jum’at. Aku tengah mengikuti PBM di dalam kelas dengan perasaan
yang masih bercampur aduk. Tiba-tiba saja ada panggilan dari meja piket yang
mengatakan bahwa ada seseorang yang tengah menungguku di sana. Aku pun meminta
izin kepada guru yang sedang mengajar dan segera keluar.
Setelah aku sampai di meja piket.
Aku tidak mendapati siapa pun tengah menungguku. Namun, pada saat aku berbalik,
kedua bola mataku seakan ingin meloncat keluar untuk meyakinkan bahwa ini
benar-benar terjadi. Bagaimana mungkin, Ayah yang saat ini mungkin masih berada
di kampung, sekarang berdiri tepat di hadapanku.
Sesaat kejadian itu terlupakan.
Aku merasa sangat senang dengan kehadiran Ayah di sini. Sudah hampir satu tahun aku belum pernah lagi
bertemu dengan Ayah sejak kelas sepuluh satu tahun yang lalu. Ayah datang di
saat yang tepat, di saat aku benar-benar membutuhkannya.
Tanpa basa-basi yang lebih
panjang lagi, aku mengjak Ayah untuk berbicara di bangku taman sekolah. Aku
sangat ingin mengatakan bahwa aku terpilih sebagai ketua Osis di sekolah ini,
akan tetapi niat itu terurungkan ketika semua masalahku kembali teringat. Ayah
terus mengoceh tentang banyak hal yang ia alami sebelum ia sampai di sini.
Namun, ada hal yang membuat tubuhku tersentak begitu kuat saat Ayah mengatakan.
“Selamat Ghani, keinginan kamu
menjadi ketua Osis sudah kamu dapatkan.”
Aku langsung menanyakan dari
siapa Ayah mendapat kabar mengenai hal itu. Kemudan Ayah menjawab dengan
jawaban yang tak kuduga. Ayah mengatakan bahwa ia mengetahui hal itu dari ustad
Furqan. Bahkan, aku semakin terdiam tak percaya, ternyata Ayah telah mengetahui
banyak hal tentangku. Mulai dari ketua Osis, kesibukkanku yang semakin
menumpuk, nilai ulanganku yang anjlok,
ikut bimbingan belajar dengan uang bulanan sendiri, pulang terlambat, dan semua yang terjadi tadi malam.
Karena melihatku yang hanya bisa
terdiam dalam keterpurukan, dan mengemban beban pikiran yang begitu berat,
akhirnya Ayah kembali angkat bicara.
“Ghani, Ayah sama sekali tidak
melarang Ghani untuk menerima beasiswa itu hingga harus bersekolah begitu jauh.
Ayah juga tidak melarang Ghani jika Ghani ingin sekali menjadi ketua Osis dan
sering berkomunikasi dengan orang lain. Karena Ayah menyadari akan kekhilafan
Ayah yang selalu mengekang Ghani dari pergaulan, dengan menyuruh Ghani bekerja
membantu Ayah. Sehingga Ayah tahu, itu
adalah alasan terkuat Ghani untuk ingin sekali menjadi orang yang penting, yang
disibukkan dengan berbagai kegiatan. Ayah meminta maaf jika selama ini Ayah
tidak pernah mau mengerti bagaimana perasaan Ghani yang dulunya diperlakukan
seperti itu.
Tapi sekarang, silahkan, bahkan
Ayah mendukung setiap hal ingin Ghani lakukan asalkan hal itu berdampak
positif dan bermanfaat abgi orang lain. Dan untuk masalah yang Ghani hadapi
sekarang, itu hanyalah rintangan dalam kehidupan yang harus Ghani lalui. Jika
saja kehidupan ini tidak memiliki yang namanya rintangan, semuanya akan terasa
hambar.
Ghani bisa membayangkan diri Ghani
tengah menyusuri sebuah jalan sekarang. Pada saat Ghani sedang melewati jalan
yang lurus, Ghani diajarkan untuk bersikap tenang. Ketika melewati jalan yang
mendaki, Ghani diajarkan untuk memperhatikan apa yang ada di sekitar Ghani
dengan baik, karena saat itu lah kita memiliki kesempatan untuk merenungkan
banyak hal. Pada saat jalan itu menurun, disitu Ghani diajarkan untuk bergerak
lebih cepat, berpacu-pacu dalam kebaikan. Kemudian, pada saat Ghani melewati
jalan yang berliku-liku di pingiran jurang, maka pada saat itulah, Ghani
diajarkan dan dilatih untuk bersikap sabar dan hati-hati dalam menempuh
kehidupan yang penuh dengan rintangan.
Seperti masalah yang Ghani
hadapi sekarang. cara terbaik menyelesaikan masalah adalah dengan
menghadapinya. Meskipun kita dihadapkan dengan dua pilihan yang sulit, kita
tidak harus memilih satu di antaranya. Namun kita bisa menjadikan dua pilihan
yang rumit itu menjadi satu pilihan yang tepat, Ghani.”
Perkataan Ayah membuat hatiku
luluh. Inilah mengapa Islam dikatakan sebagai agama yang benar. Ikatan batin
antara kedua orang tua dan anak bernar-benar menjadi simbol kebaikan yang
benar-benar nyata. Ayah bahkan sudah merasakan apa yang hendak terniat di
hatiku untuk mengundurkan diri dari kesempatan yang telah lama kuharapkan ini. mengundurkan
diri dari kesempatan menjadi ketua Osis. Aku berpikir dengan baik, jika
seandainya aku masih disibukkan dengan berbagai hal yang mungkin akan membuatku
semakin kesulitan untuk mengejar ketertinggalan.
Namun dengan segala kasih sayangnya kepadaku, Ayah mengajarkan aku
betapa pentingnya menjaga kepercayaan. Apa lagi itu adalah kepercayaan
ditumpangkan oleh banyak orang.
Disaat Ayah berkata dua pilihan
yang rumit. Seketika aku bisa merasakan bahwa Ayah seakan-akan bisa menebak
jalan pikiranku. Kemudian saat ia mengatakan untuk menjadikan dua pilihan yang
rumit itu menjadi satu pilihan yang tepat, itu adalah hal yang paling membuatku
tersadar akan kesalahanku. Perhatianku hampir terarah penuh kepada hal yang
sebenarnya bisa aku kerjakan dengan tenang tanpa harus meninggalkan pekerjaan
yang lain hingga terbengkalai. Tanpa sadar aku lebih memilih setiap kesibukan itu
sendiri dari pada kewajibanku yang sebenarnya berada di sini.
Terkahir sebelum Ayah hendak
pulang, ia mengatakan padaku.
“Tidak masalah jika harus
menempuh jalan yang lebih sulit terlebih dahulu, sehingga kita lebih terlatih
untuk menjadi lebih dewasa nantinya, dari pada tidak sama sekali. Lelayangan
tidak akan bisa terbang jika tidak melawan arus angin, Ghani. Percayalah
terhadap apa yang harus kamu lakukan. Dan kamu harus tahu, setiap orang akan
mendapatkan kesuksesan mereka dengan cara yang berbeda-beda.”
Sekali lagi, mulutku serasa
terkunci oleh puluhan gembok yang kuat. Namun, seluruh tubuh ini baru saja
merasa disirami oleh kasih sayang yang selama ini tiada henti menjagaku.
Sekarang aku sadar, betapa senangnya menjadi orang yang penting di mata orang
lain. Akan tetapi, aku harus bisa mengendalikan setiap emosional yang selalu
berkecamuk setiap saat ketika aku harus menetapkan suatu jalan yang kupilih.
Ayah pun berpamitan kepadaku dan
kembali pulang. Sebenarnya aku tidak sampai hati melihat Ayah yang besusah
payah datang ke sini hanya untuk meneguhkan keadaanku yang semakin terpuruk.
Sesaat sebelumnya, aku juga sudah mengajak ayah untuk bermalam saja di asrama
dan kembali pulang besok. Namun Ayah menolak dengan Alasan bahwa Ibu hanya
sendirian di rumah.
Setelah kami berpisah di bangku
taman. Aku bergegas kembali menuju lokal, namun di tengah di saat masih berada
beberapa langkah dari bangku taman, aku berpapasan dengan Kepala sekolah.
Kepala sekolah yang terlihat
memang sudah tua itu memanggil namaku. Dan memintaku untuk mengahampirinya.
“Maaf, ada apa ya, Pak?” tanyaku
sedikit ragu.
Sedangkan ia hanya tersenyum
mayun menatapku. Kemudian ia mengulurkan tangannya seperti hendak menjabat
tanganku. Ini adalah terlangka yang pernah kulihat sbelumnya, dan ia berkata.
“Terimakasih banyak, Ghani.
Berkat kerja keras yang lakukan dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama, kamu
sudah dapat mengembalikan cahaya sekolah ini yang dua tahun terakhir telah
meredup.”
“Maksud, Bapak?” tanyaku seakan
tidak percaya.
“Setiap ekstrakurikuler dan
organisasi yang berada di sekolah ini sudah kembali bergerak. Pemerintah juga
tidak enggan memberikan dana karena mereka melihat begitu banyak partisipasi
sekolah kita dalam setiap kegiatan yang diadakan oleh mereka. Bahkan, pelatih
silat yang kita datangkan dari luar, juga mengacungkan jempol kepada kita
melihat begitu banyaknya bakat yang ia temukan di sini. Bahkan, ia juga
mempromosikan sekolah kita sebagai sekolah terbaik yang pernah ia datangi.
Begitu pun dengan setiap acara-acara keagamaan yang kita adakan, seperti
Takbir, mabit, rutinitas tahfizh Qur’an, dan masih banyak lagi. Terimakasih Ghani,
terimakasih.” Jelas kepala sekolah yang begitu panjang.
Aku juga tidak menyangka akan
mendapat pujian dan pencapaian seluar biasa ini. semua beban pikiran yang
kutanggung semenjak tadi malam perlahan menghilang satu demi satu. Ada semacam
perasaan bangga, senang, terharu, bahkan terkejut dengan semua yang terjadi
hari ini.
Setelah berbicara dengan cukup.
Aku pun berpamitan pada kepala sekolah sembari mencium punggung tangannya.
Senyuman lebar yang mengambang di wajahku benar tidak terelakkan lagi. Namun,
pada saat berjalan dengan tenang dan hampir mendekati pintu kelas, aku merasa
ada sesuatu yang ganjil di saku belakang celana sekolahku. Karena penasaran,
aku berusaha meraba-rabanya dan mendapatkan secarik kertas yang sepertinya
sangat ku kenal setiap kata dari tulisannya.
Hari
ini adalah hari pertama aku menjejakkan kaki di kota Bandung. Dengan
mengucapkan Bismillah, aku pun memasang niat terkuat yang pernah kupunya. Aku
berazzam agar bisa menjadi orang yang bermanfaat nantinya. Untuk itu aku rela
berpisah begitu jauh dengan Ayah dan Ibu yang pasti tengah menunggu
kesuksesanku kelak.
Malam
ini akan menjadi malam dimana aku bisa menuliskan setiap mimpi-mimpi yang
kuraih pada selembar surat ini. surat yang akan selalu kusimpan setiap saat.
Pertama, aku ingin sekali menjadi seorang Dokter yang bisa menyelamatkan nyawa
banyak orang, dan seorang dokter, pastilah akan dibutuhkan hampir setiap saat,
karena Dokter adalah salah satu pekerjaan yang mulia. Kedua, aku mempunyai satu
keinginan yang terkesan sederhana tapi begitu sulit bagiku. Aku hanya ingin
memliki banyak teman. Karena selama berada di kampung halaman, aku harus
membantu Ayah bekerja di setiap pagi dan petangnya. Namun, sekarang jalan baru
telah dibukakan. Aku akan memiliki banyak teman disini, mengenal setiap orang
dengan baik tanpa adalagi pembatas waktu.
Sesaat
sebelum berangkat ke sini. Ayah menitipkan sebuah pesan terakhir untukku. Ia
mengatakan.
“Disana,
Ghani akan mulai belajar banyak hal tentang apa yang kita sebut sebagai
kehidupan. Ghani akan merasakan bagaimana rasanya terbang setinggi awan, namun
juga ada kalanya, Ghani akan merasakan
bagaiman rasanya terpuruk ke dalam jurang terdalam yang sangat menyesakkan.
Tapi ada hal yang selalu harus Ghani ingat dengan baik. Sebuah layangan tidak
akan terbang jika ia tidak mau melawan arus angin yang kencang. Jadi, tempuhlah
setiap rintangan yang menghadang dengan kesungguhan, ingat setiap perjuangan
yang telah Ghani lakukan agar bisa ke sana. Tentu Ghani tidak akan
menyia-nyiakan yang namanya kesempatan bukan? Dan disaat Ghani merasa
kehilangan arah, kembalilah pada sang maha pencipta, lalu ingat-ingat kembali, apa yang menjadi
tujuan sebenarnya bagi Ghani berada disana.”
Aku menghela napas lega setelah
membaca surat itu. Surat yang pernah kutulis pada saat malam pertama di
Bandung. Surat yang kutulis sebagai peneguh semangatku untuk belajar di negeri
rantau, kota Bandung ini.
Tapi sekarang, dengan semua hal
yang telah kualami, aku belajar banyak hal. Meskipun memiliki keinginan yang
besar, aku harus mampu mengendalikan keinginan itu agar tidak menjatuhkanku
nantinya. Meskipun beban itu begitu besar dan terlalu sulit, aku harus tetap
bertanggung jawab atas apa yang telah kulakukan, dan aku tidak boleh menghindar
apalagi harus menghilangkan kepercayaan banyak orang. Dan pada saat aku
dihadapkan dengan dua pilihan terberat yang pernah kualami, aku tidak harus
memilih satu diantaranya, namun bisa menjadikan dua pilihan itu menjadi satu
pilihan yang tepat.
Aku memandang langit dengan
senyum mengambang. Api semangat yang selama ini terdiam, kini tengah bergejolak
hebat dalam setiap aliran pembuluh darah. Bahkan, setiap helaan napas juga mulai membersihkan jiwa lama yang telah
terpuruk jatuh.
Namun
sekarang aku yakin. Aku bisa melewati setiap tantangan hidup ini dengan baik.
Untuk apa berkeluh kesah dengan apa yang kuperoleh, sedangkan aku percaya,
bahwa setiap layangan bisa terbang karena melawan arus angin..
...The
end...
Comments
Post a Comment