cerpen #3 _Gadis kecil



GADIS KECIL
 
            Kejadian ini terjadi sekitar satu minggu yang lalu. Waktu itu adalah sabtu malam yang cukup dingin, atau bahasa kerennya malam minggu. Seperti biasa pak Syamsul sudah sampai di depan sebuah pos kamling ketika maghrib usai. Pak Syamsul adalah seorang pedagang sate kacang yang cukup digemari kenikmatannya.
            Gerobak sate dorong  berwarna kuning dengan lampu minyak itu sudah siap untuk menerima pembeli. Anak-anak yang baru pulang mengaji dari surau segera berebutan membeli sate kacang pak syamsul. Para orang tua juga banyak yang membeli tetapi sehabis shalat isya. Begitu pun denganku. Kalau alasan utama yang membuatku ingin membeli sehabis isya, mungkin biar bisa dapat bonus, soalnya yang mau ngebeli udah nggak banyak lagi.
            Jam dinding kamarku sudah menunjukkan pukul 21.00 WIB. Segera jaket hitam bercorak abu-abu itu ku tarik dari tempat tidur dan mengambil sisa uang jajan tadi siang dalam dompet merah dalam lemariku. Biasanya ibu selalu meminta agar adik perempuanku yang baru berusia 6 tahun itu juga dibelikan. Tapi hari ini berbeda , adik perempuanku itu sudah tertidur dengan pulas. Mungkin karena seharian bermain membuat tenaganya banyak terkuras.
            Meskipun sudah cukup malam, aku melihat beberapa orang masih ada yang berada di luar. Apalagi teman-teman yang sebaya denganku. Palingan jam segini mereka lagi ngumpul dan nyanyi bareng di pos kamling menemani pak Syamsul yang jualan.
            Aku seorang anak laki-laki yang sudah berusia belasan tahun. Jadi jarak tempuh 30 meter sewaktu berjalan dalam keadaan yang sepi dan cukup gelap, tidak menggentarkanku sedikit pun. Meskipun menggunakan lampu minyak, gerobak sate dorong berwarna kuning itu dapat ku lihat jelas dengan bantuan lampu di bagian luar pos kamling yang cukup terang itu.
            “Gimana pak? Laris manis nggak?” sapaku akrab.
            “Alhamdulillah masih laris. Mau berapa bungkus Gus?”
            “Satu bungkus saja pak.”
            “Apa tidak ada yang nitip?”
            “Tidak ada pak.”
            “O, begitu. Tunggu sebentar ya.”
            Pak Syamsul mulai membuatkan pesanan sate kacangku. Tidak perlu dipungkiri lagi. Keistimewaan pak Syamsul yang cekatan dalam mengambil satu persatu bahan sate tidak ada tandingannya.
            Malam ini berada di luar dugaanku. Ternya bonus yang ku dapatkan cukup besar. Pak Syamsul memasukkan tiga tusuk daging sate lagi dalam pesananku dan menyelimutinya dengan kuah kacang dan sedikit kecap. Seraya pak Syamsul menyiapkan pesanan, aku mencoba melirik keadaan sekitar. Suasana semakin sepi, kendaraan roda dua pun hanya sesekali. Tapi yang paling membuatku penasaran adalah keberadaan teman-temanku yang biasanya sering nongkrong disini.
            “Ini sate pesananmu Gus,” pak Syamsul megagetkan ku.
            “Eh, iya pak. Ini uangnya.”
            Setelah mendapatkan apa yang ku pesan dan menerima uang kembalian. Aku berniat menanyakan keberadaan teman-temanku kepada pak Syamsul, akan tetapi malah beliau yang mulai duluan.
            “Agus, kemana semua temanmu yang biasanya ngumpul disini?”
            “Nggak tau pak, mungkin pergi ke tempat si Adit. Biasanya kalau malam seperti ini, bapak dagang satenya sampai jam berapa pak? ‘Kan pembelinya sudah nggak ada lagi.”
            “Duduklah. Nanti bapak kasih tau,”
            Perbincangan kami yang tak disangka ini pun berlanjut. Suhu udara malam yang semakin dingin membua pak Syamsul menawariku untuk berbicara di dalam pos kamling kosong yang ada di belakang kami itu.
            Beliau menceritakan semua pengalaman yang didapatkannya semenjak menjadi seorang tukang jual sate kacang. Mulai dari menjawab pertanyaanku yang pertama tadi. Ternyata pak Syamsul jualan paling lama sampai jam setengah sebelas malam, kalau tidak ada pembeli lagi maka jam sepeluh malam sudah tutup dan berkemas pulang.
            Selama beliau bercerita. Tidak ada hal yang begitu menarik menurutku. Tak lama kemudian telingaku seketika berdiri tegap mendengar cerita pak syamsul seminggu belakangan ini. Ia menceritakan tentang uangnya yang sering hilang tanpa sebab. Meskipun itu hanya senilai seporsi sate kacang tetapi pak Syamsul hampir mengalaminya setiap malam.
            Belakangan ini, setelah keadaan berubah menjadi sepi sekitar jam sepuluh malam. Pak syamsul sering didatangi oleh seorang anak perempuan. Anak itu selalu membeli sate kacangnya dengan porsi yang sama. Anehnya anak itu selalu mengenakan pakaian yang sama setiap ingin membeli sate. Sayangnya pak Syamsul tidak menjelaskan seperi apa pakaian yang di pakai anak itu. Awalnya pak Syamsul sendiri memang merasa sedikit ada ganjil, mana mungkin ada anak kecil yang berkeliaran kalau sudah lewat ari jam sembilan malam. Tetapi kecurigaannya itu beransur hialng, karena ia beranggapan kalau anak kecil itu adalah adikku Rini.
            “Tidak mungkin pak. Yang pergi membelika sate untuk saja saya sendiri, jadi mana mungkin kalau itu adalah adik saya. Apalagi gelap seperti ini, dia saja ke kamar mandi masih takut sendirian,”
            “Yang benar saja, yakin kamu Gus?”
            “Saya yakin, buat apa saya bohong. Hampir setiap malam ‘kan saya selalu beli sate dua bungkus disini. Nah, bungkusan sate yang satunya lagi itu untuk adik saya pak, Rini.”
            “Lha, bukannya untuk ibu dan bapakmu.”
            “Ya bukanlah pak. Bapak saya saja jam sembilan itu udah tidur pak, kalau ibu emang dari dulunya nggak suka sate kacang.”
            Pak Syamsul menggaruk-garuk kepalanya. Sepertinya ia sangat kebingungan dengan apa yang telah aku sampaikan, karena selama ini dugaan beliau ternyata salah.
            Tanpa pikir panjang, aku segera kembali ke topik pembicaraan dan menanyakan masalah uang yang hilang itu. Tetapi ketika aku hendak menyampaikannya. Tiba-tiba saja datang seorang anak perempuan yang kiranya sebaya dengan adiknya  Rini. Sepertinya ia hendak membeli sate kacang jug.
            “Pak, seperti biasa ya.” Ujar anak itu.
            “Iya dek, tunggu sebentar ya?”
            Sepertinya pak Syamsul sudah sangat akrab dengannya. Kaena hari sudah larut malam aku memnta izin untuk pulang. Sesampainya di rumah aku langsung menyantap sate yang mulai dingin itu. Semua orang sudah tertidur dengan lelap. Setelah perutku terisi, TV yang masih menyala ku matikan segera dan kembali ke kamar untuk tidur.
            Keesokan harinya, sekitar jam 17.00 WIB. Secara tidak sengaja aku melihat adikku Rini berbicaa sendiri dengan boneka miliknya di teras rumah tempat ia bermain.
            Kalau itu biasa saja, karena memang itu adalah hal yang biasa dilakukan oleh anak kecil, apalagi perempuan. Tapi kali ini aku merasa ada yang aneh. Aku menjadi bingung sendiri dengan apa yang dikatakan oleh adikku. Ia berlari ke arahku seraya menunjuk boneka miliknya dan memintaku untuk mengantarkan temannya pulang.
            “Kak, tolong antarin temanku Santi pulang ya kak?”
            “teman? Teman Santi yang mana?”
            “Itu, teman Rini yang lagi… eh, perasaan Santi tadi duduk disitu.” Menggigit telunjuknya.
            “Emang Rini punya teman yang namanya Santi?”
            “Punya kak, dari seminggu yang lalu ia sering main sama Rini disini”
            “Iya? Kenapa kakak nggak tau. Rini, udah hampir magrib, masuk ya.”
            “Iya kak.”
            Aku mencoba untuk mencerna apa yang dikatakan Rini. Aku baru tahu kalau adikku memiliki seorang teman namanya Santi dan mereka sering main di teras rumah kalau sudah sore. Padahal selama ini aku belum pernah sekalipun melihat Rini bermain dengannya.
            Rini juga mengatakan, kalau temannya minta diantarkan pulang. Tapi aku sendiri tidak dapat melihatnya, atau ia sudah pulang duluan? Astagfirullah… fikiranku mulai kacau. Aku segera masuk ke dalam rumah dan bersiap-siap untuk mandi lalu shalat maghrib. Kemudian, sekitar pukul 21.00 WIB. Aku bersiap-siap untuk pergi membeli sate kacang pak Syamsul lagi. Malam ini adikku belum tidur, jadi terpaksa aku harus membeli dua porsi untuk dibungkus.
            Setibanya disana. Pak Syamsul langsung mengajakku berbicara. Jujur, ceritanya kali ini benar-benar mebuatku kaget. Ia mengatakan padaku bahwa anak perempuan yang membeli sate padanya tadi malam itu bernama Santi. Aku pun makin serius mendengar ceritanya dengan suasana malam yang semakin sepi itu.
            “Gus, sekarang bapak tau, kenapa uang bapak sering hilang.”
            “Kenapa pak?”
            “Eh, maaf, sebenarnya uang bapak itu tidak hilang. Kemarin malam setelah kamu pergi. Santi membayar satenya dengan uang pas Rp.6000. ketika bapak memasukkan uang itu kedalam kotak uang dan berniat untuk segera pulang, tapi sesaat bapak ingat sesuatu. Seharusnya, uang itu bapak masukkan ke dalam kantong baju, karena semuanya sudah bapak hitung. Akan tetapi ketika bapak membuka kotak uang itu lagi, tiba-tiba uangnya sudah tidak ada.”
            Sedikit merinding. Tapi aku tidak percaya dengan apa yang dikatakan pak Syamsul itu. Sekarang beliau terlihat sangat tergesa-gesa setelah mengambilkan pesananku. Dia bilang takut rugi, kalau anak kecil itu datang lagi.
            Di perjalanan pulang. Aku bertemu dengan seorang anak perempuan yang sepertinya sebaya dengan adikku Rini. Ia sedang menangis terisak. Lalu aku menanyakan siapa namanya, tapi ia tetap saja menangis. Aku juga melihat di sampingnya juga ada sebungkus sate kacang sudah tercecer isinya. Sekarang aku dapat menangkap dengan baik apa yang menyebabkan ia menangis.
            Kemudian aku memberikan salah satu sate kacang yang ada padaku untuknya. Ia berhenti menangis, melemparkan senyuman kecil dan segera berlari meninggalkanku.
            Setelah sampai di depan rumah, aku bertemu lagi dengannya. Ia menatapku tanpa berkedip sedikit pun. Santi? Nama itulah yang segera terbesit di benakku. Tak lama kemudian ia tersenyum lagi dan segera pergi dari sana. Aku berusaha untuk mengejarnya hingga kembali mendekati pos kamling yang sudah tidak ada lagi orangnya, terutama pak Syamsul.
            Santi mulai memperlambat langkahnya dan aku pun yang pada saat itu berada sekitar sepeluh langkah di belakangnya juga melambat. Sekarang dia berhenti tepat di hadapan bak besar pembuangan sampah yang sudah dikeliling semak belukar. Ia menoleh ke belakang dan melemparkan senyum yang ketiga kalinya kepadaku. Lalu ia berjalan perlahan ke arah tumpukan sampah itu dan lenyap, hilang dari pandangan. Aku memberanikan diri untuk memeriksa lebih dekat. Jujur lebih dari sekedar merinding yang ku rasakan. Bagaimana tidak? Ternyata yang aku temukan adalah sesosok mayat.
…The End...

Comments

  1. VHS of VHS tapes (vHS tapes) - VideoDl
    You can download a VHS video and see all this stuff on VHS. All of these VHS tapes are of the same quality youtube to mp3 player as the originals, except that the

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

FILOSOFI BULAN

Tentang siapa sebenarnya sahabat