CERPEN #2 _KEBENARAN YANG TAK SAMPAI_
KEBENARANYANG TAK
SAMPAI
Aku
masih ingat akan sebuah peristiwa. Tentang putaran arah jarum jam di tengah
hari yang seakan mengikuti langkah demi langkah presiden yang sedang berharap
cemas dalam penantiannya menunggu sepucuk surat. Itu bukanlah surat yang di
harapkan untuk dinantikan melainkan berharap surat itu tidak pernah untuk
dinantikan.
Keadaan di istana presiden itu sangat
menegangkan sampai-sampai tak ada satu pun suara yang keluar, hingga akhirnya
datanglah seorang mahasisawa mengantarkan sebuah surat. Temua orang yang berada
didalam ruangan tercengang melihat keberaniannya dengan datang sendiri membawa
surat itu dan memberikannya kepada presiden langsung dengan gerak tubuh yang
tidak gemetar sedikit pun.
“Maafkan
saya berani lancang datang ke tempat ini, tetapi itu terpaksa saya lakukan
karena secara tidak sengaja saya menemukan surat ini dekat sebuah lokasi
kecelakaan.”
“Tahukah
anda bahwa ini adalah surat yang sangat penting, dan sangat erat kaitannya
dengan negara kita?”
“Saya
tahu tapi hendaklah sekiranya bapak tahu juga bagaimana saya bisa mengantarkan
surat itu kepada bapak, tidakkah bapak melihat keadaan saya sekarang? yang
hampir kehilangan nyawa hanya demi secarik kertas dalam amplop surat itu?"
Masih tergambar jelas olehku raut
wajah yang murung dari mahasiswa itu yang berpaling dan melangkah untuk pergi,
aku berusaha untuk meraih pundaknya dan mengajukan sebuah pertanyaan.
“Hei
nak, siapakah gerangan namamu? aku sangat kagum akan keberanian yang engkau
perlihatkan kepada kami."
“Hamdan."
Hanya itulah ucapan yang keluar dari
mulutnya, singkat, padat dan jelas. Kemudian aku mengajaknya untuk berbincang-
bincang dalam ruanganku, ruangan itu tepat berada disebelah ruangan presiden,
yaitu ruangan wakil presiden. Akan tetapi sebelum memasuki ruangan, terlihat
presiden dengan hati yang kesal membulat-bulatkan surat itu dan dibuangnya,
namun segera aku mengalihkan perhatian dan masuk ke dalam ruangan.
“Duduklah
nak, tampaknya engkau begitu kelelahan."
Dia hanya diam dan hanya
menganggukkan sedikit kepalanya. Sangat jelas terpancar gambaran kekecewaan
yang menimpa dirinya. Sesaat aku pun mulai menarik kursi dibelakangku untuk
duduk.
“Dapatkah
kamu menjelaskan tentang segala hal yang telah terjadi hingga surat itu bisa
sampai dengan aman ketempat ini?" aku mulai bertanya.
Dengan
wajah yang masih tertunduk ia mulai berbicara, ia mengatakan bahwa ia mengalami
hal yang sangat berbahaya sebelum sampai kesini.
“Tidak
ada pak, hanya kecelakaan kecil.”
“Bicaralah,
jangan takut” sedikit cemas.
”Baiklah.
Ketika hendak pulang ke rumah, di perjalanan saya melihat sebuah kecelakaan,
tak ada satu pun orang yang menolong disana, hanya sebuah mobil mewah yang
menabrak sebatang pohon dengan bagian depan remuk dan berasap, saya berusaha
berjalan mendekati mobil itu dan ternyata didalamnya ada dua orang yang telah
tewas, didalam mobil itu saya juga melihat sebuah amplop surat masih terletak
diantara kedua orang itu, karena merasa penasaran saya berusaha meraihnya, di
pojok kanan dari amplop tertulis "UNTUK PRESIDEN" tangan saya gemetar
setelah membaca tulisan pendek itu, namun tidaklah beberapa langkah saya
beranjak dari sana tiba-tiba mobil itu meledak, dengan tubuh yang masih
bergetar, dengan jantung yang masih berdebar keras saya berusaha untuk datang
kesini, namun asalkan tuan tau saja, sebelum masuk ke dalam istana ini sekilas
saya melihat dan mendengar percakapan antara presiden dengan orang asing yang
mungkin bukan bagian dari istana ini. Ketika itu presiden berkata. "Surat
itu tidak jadi sampai kan?" lalu seorang lawan bicaranya itu hanya
mengangukkan kepala dan pergi."
“Lantas
apa yang membuatmu begitu berani berhadapan dengan presiden?"
“Maaf,
sebelumnya, saya membuka surat itu dengan hati-hati sehingga tidak terlihat
jelas bahwa surat itu telah dibuka. Surat itu berisikan tentang pencabutan
jabatan presiden, saya terkejut akan hal itu lalu saya lanjutkan untuk
membacanya dan disana juga tertera dengan jelas bahwa bapak akan menggantikan
jabatan itu, mungkin presiden sudah tahu akan hal ini. Menurut saya orang yang
seharusnya mengantarkan surat ini tewas karena kecelakaan yang sudah direncakan
oleh orang suruhan presiden sendiri."
Tak lama kemudian kami mendengar ada
sesuatu yang pecah, ternyata ada seseorang yang telah menguping dibalik pintu,
kami segera mencari tahu siapa orang itu, tapi sayang, ketika aku membuka pintu
sebuah pistol telah berhadapan dengan wajahku, ternyata itu adalah orang suruhan
presiden sendiri.
“Hamdan,
cepat lari!" aku berbicara dengan rasa cemas seraya pistol dihadapanku.
Permintaanku
seakan tak didengar olehnya, Hamdan tidak berlari keluar melainkan berlari
menuju presiden dan berkata dihadapannya dengan lantang.
“Saya
sangat berharap ini hanya lah mimpi. Inikah seorang pemimpin? inikah seseorang
yang selama ini kami banggakan? Ternyata bukan, kau sebenarnya adalah sampah
yang seharusnya sudah lama terbuang!"
“Tutup
mulutmu anak muda, kau tidak mengerti sama sekali, ini adalah urusan orang
dewasa."
“Saya
mengerti tuan!" berusaha melawan.
“Apa
yang bisa kau mengerti? cepat keluar sebelum aku bertindak kasar!"
“Baiklah
saya akan keluar, tapi sebelumnya saya ingin menyampaikan suatu hal kepada
tuan. Tidakkah pernah tuan yang terhormat mendengar ungkapan ini. Kedewasaan seseorang tidak dilihat dari
berapa usianya melainkan seberapa besar tanggung jawab yang ia terima. tuan
tidaklah lebih dari seorang anak kecil yang terlalu cepat untuk dewasa!"
“Apa
ocehanmu sudah selesai anak muda? ada yang ingin kau tambahkan sebelum kau
pergi dari dunia ini!" ujar presiden dengan nada melecehkan.
“Saya
juga tahu bahwa yang menyebabkan dua orang pengantar surat itu tewas adalah karena
orang suruhan tuan, iya kan?"
“Diam!
sekarang kau sedang dalam masalah besar!"
“Tidak
tuan, sekarang saya sedang berada di puncak kemenangan, bagaimana jika semua
orang mengetahui perbuatanmu ini, akankah tuan masih bertahan di negara ini?"
Hamdan segera berlari menuju pintu
keluar, akan tetapi peristiwa tragis pun terjadi. Pistol yang awalnya berada
dihadapan wajahku sekarang mengarah kepada hamdan. Aku memperhatikan tangan
presiden turun seperti mengisyaratkan sesuatu, dan ternyata benar! itu adalah
isyarat untuk tembakan kepada Hamdan. Telah aku usahakan untuk menghentikannya
tapi terlambat, peluru yang ditembakkan itu telah bersarang di kepala Hamdan.
Sekarang aku tidak tahu apa yang
harus ku lakukan. Dengan ancaman yang begitu berat, aku hanya bagaikan orang
yang sangat berdosa. Mengapa tadi aku tidak membiarkan Hamdan pulang begitu saja? Untuk apa aku mengajaknya
berbicara? Siapa? Siapa yang telah membuat gerakanku binasa?
Jutaan
pertanyaan terus meminta jawaban. Aku hanya bisa melihat Hamdan mulai roboh
dalam pelariannya. Bagaimana tidak? Sebuah peluru menancap tepat di kepalanya.
Nyawa? Aku tidak tahu akan nyawa seorang anak muda perkasa ini, yang aku tahu
hanya keberanian dari seorang Hamdan dalam dua genggaman tangan yang kuat.
Sekarang genggaman itu terlepas, tapi tidak dengan kebenaran yang dibawanya.
Polisi datang dengan gelar pahlawan
kesiangan, entah siapa yang mengundang mereka menerjang. Setelah satu nyawa
melayang baru pertolongan datang. Semua orang yang berada dalam istana
diamankan.
Selamat? Ya, nyawaku telah
diselamatkan oleh para pahlawan kesiangan, tapi celaka masih berujung padaku.
Tak ku sangka, polisi lengah mengamankan presiden. Ia sekarang berlari ke
arahku, mendekapku seraya berbisik.
“Sampaikan salamku pada anak muda
itu.”
Dan... “bless...” separuh badan pisau telah menusuk perutku, pisau yang
berada diantara perutku dan jas hitamnya semakin di tekan keras hingga sakit
tak dapat ku tahankan lagi. nafasku mulai terasa sesak. Presiden tiba-tiba
ditarik dengan paksa oleh dua orang polisi di belakangnya.
“Kau tak pantas untuk jabatan itu!”
presiden berteriak padaku sambil ditarik.
Tak adalagi udara untuk aku hirup.
Dengan pisau yang masih menancap di perutku membuat nafasku semakin sesak,
lutuku telah menghempas ke bumi, mataku juga hanya bisa menatap presiden dari
kejauhan dengan kebuyaran pandangan. Terakhir, telingaku hanya mendengar sayup
kebisingan di istana itu.
Apakah dikala itu aku pingsan? Atau
seharusnya aku sudah tiada? Aku juga tidak tahu, karena hanya Dia-lah yang
berhak menentukan segala sesuatu.
Untuk sekarang, aku hanya bisa
berbaring di sebuah ranjang putih. Ku pandang seisi ruangan yang luas ini dengan seksama, hingga kutemukan
lagi jam itu, tepat pada jarum aku kehilangan Hamdan.
Comments
Post a Comment